“Ngapain sih, pergi ke psikolog? Kayak nggak punya temen aja.” Sungguh lucu sekali di zaman modern masih ada saja orang yang berpikir demikian.

Sejujurnya, kalau Anda masih kuliah atau masih sekolah, cerita ke teman ketika ada masalah adalah hal yang mudah. Namun semakin Anda tua, semakin Anda nggak enak melimpahkan masalah ke orang lain, karena Anda tahu kalau dia juga punya masalah. Kurang lebih seperti itu tanggapan Pandji Pragiwaksono dalam sebuah video di chanel YouTube ketika merespons pertanyaan di atas.

Saya sangat setuju dengan yang dikatakan oleh blio. Bagi saya, ketika umur sudah semakin bertambah, Anda akan semakin berjarak dengan teman-teman Anda, bukan karena ada konflik, tapi mereka sudah punya prioritas masing-masing. Alhasil, Anda akan kesusahan untuk sekadar mencari tempat curhat sebagaimana zaman masih remaja.

Selain itu, pergi ke psikolog bukan berarti gila, itu tandanya Anda peduli pada diri Anda. Peduli pada kesehatan mental Anda. Sama seperti servis motor tiap bulan. Bukan karena ada kendala, tapi melihat lebih detail apakah ada kerusakan mesin atau tidak. Ke psikolog juga gitu, ngecek apakah ada kerusakan dalam jiwa atau tidak.

Apalagi jika Anda memang sudah merasa ada yang salah dengan jiwa Anda. Ibarat motor tadi, kalau pas dipakai kok kayak ada yang nggak enak, yaudah dibawa ke bengkel aja. Biar paham apa masalahnya dan bisa ditangani dengan segera.

Di usia yang sudah seperempat abad saja, saya sudah mengalami kondisi di mana harus berjarak dengan teman saya. Memang ada beberapa teman yang masih bisa untuk sekadar diajak ngopi, ngobrol, rasan-rasan, meski tidak banyak. Namun, untuk bercerita tentang masalah personal, kadang saya malas melakukannya. Bukan apa-apa sih, lebih karena tidak semua orang bisa memberikan respons yang menyenangkan.

Btw, Respons tidak menyenangkan bukan hanya kalimat cercaan seperti, lemah, alay, berlebihan. Meremehkan suatu masalah yang sedang dialami oleh sesorang juga termasuk loh, misalnya, Ah, masih mending, la gue, atau itu mah, nggak seberapa, dan beberapa kalimat sejenis.

Entah disengaja atau tidak, tapi kebanyakan dari kita memang kurang bisa memberikan repons yang menyenangkan. Paling mentok memberi kalimat template seperti, sabar, yaudah ikhalisn aja, kamu tuh orang terpilih, jangan sedih, atau kalimat lainnya yang sudah sering sekali saya terima sampai pengin muntab.

Tapi ketika Anda ke psikolog, alih-alih mendapat kalimat tidak menyenangkan di atas, mereka cenderung mendengarkan kisah sedih yang kita alami. Iya, benar-bear didengarkan, dan tidak langsung diberikan ceramah Panjang lebar.

Sedikit cerita, beberapa minggu lalu, saya terpilih untuk mendapatkan layanan konsultasi ke psikolog secara gratis. Sebuah program yang didakan oleh Lembaga swasta yang peduli akan kesehatan mental. Bagi saya yang baru pertama kali ke psikolog, pengalaman tersebut benar-benar menyenangkan. Profesional memang selalu bisa diandalkan.

Awalnya saya beranggapan pasti akan mendapatkan ceramah Panjang lebar. Atau diberikan kalimat penenang yang template. Namun karena gratis, jadi saya pun mengambil kesempatan ini sesegera mungkin. Kebiasaan anak kos yang suka ngambil gratisan soalnya.

Meski dilakukan secara daring, tentu saja tidak mengurangi efek positifnya. Setelah melakukan layanan konsultasi, pikiran saya benar-benar terbuka. Saya dibantu untuk mengurai masalah apa yang sebenarnya saya hadapi, bukan fokus dengan apa yang saya takuti.

Sejauh yang saya amati, mereka cenderung mengatakan kalau emosi atau masalah yang saya alami adalah valid. Tidak ada kalimat kutukan, atau menyepelekan masalah. Mereka lebih sering menggunakan kalimat kayak seperti, “aku nggak yakin ada kata-kata yang bisa menghiburmu, atau aku ikut merasakan berat dan sedihnya peristiwa ini”.

Secara tidak langsung, ketika ada seseorang yang mengakui penderitaan kita, itu benar-benar menenangkan. Setidaknya bagi saya.

Mereka juga memberi gambaran bahwa ada sesuatu yang bisa dikendalikan, dan ada juga yang tidak. “Kita kan tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa loh, memperbaiki masa depan”, kurang lebih begitu kalimat yang saya ingat dari mbak-mbak profesinal tersebut.

Kesehatan mental bukan sebuah hal yang perlu untuk ditutupi. Kalau sakit ya berobat aja. Kenapa kita cenderung lebih peduli dengan luka fisik daripada luka batin? Padahal keduanya sama-sama perih. Luka fisik membutuhkan pengobatan atau perlu istirahat. Sama saja, luka batin juga demikian, tetap membutuhkan perawatan yang sesuai agar bisa sembuh.

Pada beberapa kasus, penyakit mental malah bisa lebih mengancam nyawa seseorang daripada penyakit fisik. Contoh paling nyata adalah kasus bunuh diri di Jepang. Iya, negara yang dianggap sangat maju (bahkan di bidang pendidikan) ternyata memiliki angka kematian akibat bunuh diri dengan jumlah yang fantastis, yakni 17 ribu orang pada tahun 2020.

Yah, angka ini berarti lebih banyak daripada jumlah orang meninggal di negara tersebut karena pandemi covid, yakni sekitar 16 ribuan. Karena itu meremehkan kesehatan mental adalah sebuah kebodohan.

Apapun penderitaan yang sedang dirasakan, ia tetap layak untuk dipahami. Bukan untuk dihakimi. Mari hargai setiap penderitaan, baik fisik maupun mental.

Mental health is health.
Editor : Hiz

Foto : Pexels