Cinta merupakan satu kata yang bisa melahirkan jutaan makna. Mungkin saja, tentang cinta akan senantiasa diperbincangkan dan dapat di temui dimana saja. Di laman media sosial, di simposium, di balik wangi aroma lembar buku-buku, di warung kopi, bahkan dalam getar-getar hati manusia yang tersembunyi.

Rasa suka—hal yang mengikutinya—dewasa ini juga demikian mudah dan murah. Rasa suka bisa ditujukan kepada siapa saja dan kapan saja. Kita bisa saja suka dengan seseorang karena cara berpikirnya, idealismenya, cara dia memperlakukan orang lain, kegemarannya, ibadahnya, atau bagi kebanyakan orang, mudah baginya untuk menyukai seseorang karena paras. Selalu ada alasan untuk meletakkan rasa suka, dan rasa tersebut tidak pernah bertahan lama.

“Cinta” kata Andrea Hirata, “Ditaburkan dari langit”. Pria dan wanita menengadahkan tangan, berebut-rebut menangkapnya. Banyak yang mendapat seangkam, banyak yang mendapat segantang; semakin banyak, semakin tak tergenggam. Luar biasa.

Mengutip dari puisi Rumi, dahsyatnya cinta ini bahkan digambarkan oleh Ayatul Husna—salah satu tokoh epiknya Kang Abik di film Ketika Cinta Bertasbih. Yakni sebagai kekuatan yang mampu mengubah duri jadi mawar, cuka jadi anggur, malang jadi untung, sedih jadi riang, setan jadi nabi, iblis jadi malaikat, sakit jadi sehat, kikir jadi dermawan, kandang jadi taman, penjara jadi istana. amarah jadi ramah, dan musibah jadi muhibbah.

Pantas saja Plato tidak segan-segan menyebut love is serious mental disease. Banyak yang sepakat jika cinta dapat membuat seseorang bisa bertindak di luar nalar. Akan tetapi, sesungguhnya kalau kita terlalu keblinger, bukan cintanya yang salah. Jangan-jangan itu cuma sekadar hasrat.

Cinta: Mencintai atau Dicintai?

Di tengah hiruk pikuknya bahasan cinta ini, rupanya ada bahasan yang penting nggak penting untuk dibahas juga. Terdengar filosofis, dan membuang-buang waktu di waktu yang sama.

Hmm, tapi mari kita bahas saja pertanyaan yang mungkin pernah kamu dapatkan, renungkan, atau justru kamu tanyakan ke orang lain: Lebih baik mana, bersama-sama dengan orang yang tidak kita cintai, tapi mencintai kita atau bersama-sama dengan orang yang kita cintai tapi tidak mencintai kita? Pertanyaan ini rasanya menggelitik dan sangat sering dilontarkan. Entah benar-benar ingin mencari tahu, atau hanya sekadar menguji pendirian. Barang kali hati kecil kita terkadang juga menanyakannya.

Setiap kali pertanyaan itu terlintas, bukankah menyenangkan jika jawabannya adalah bersama-sama dengan orang yang kita cintai, dicintai keluarga (baik keluarganya atau keluarga kita), lagi mencintai kita. Siapa yang tidak menginginkannya? Because to love without being loved in return is a miserable situation to be in. Perasaan cinta terkadang akan memudahkan langkah-langkah selanjutnya. Namun, apakah cukup sampai di situ saja? Rupanya tidak.

Pria: Sang Petualang Penuh Obsesi

Menurut sosiolog dari Kanada, John A. Lee, dalam sebuah teori yang disebut sebagai the color wheel theory of love, cinta terbagi menjadi 6 jenis. Yaitu eros (cinta romantik yang penuh hasrat kepada sesuatu yang dianggap ideal), ludus (cinta yang sebagai sebuah permainan), storge (persahabatan), mania (cinta obsesif), pragma (praktis dan realistis) dan agape (cinta ilaihah, penuh kedamaian). Sementara Sprecher & Regan (2000) mengatakan, mayoritas lelaki memiliki tipe cinta jenis eros, ludus atau mania, di mana kedekatan fisik dan seksual menjadi orientasi.

Pendapat tersebut menjadikan bagi lelaki yang identik dalam dua kondisi tadi, seakan lebih baik bersama-sama dengan orang yang dia cintai tapi tidak mencintainya. Karena cinta bagi seorang lelaki adalah mengejar sesuatu yang ideal, petualangan, dan obsesi yang tiada tara. Maka, apabila lelaki dipaksa menikah dengan perempuan yang tak dia cintai, dia akan sangat menderita lahir batin. Sebab, perpaduan eros-ludus-mania tak mungkin dialamatkan kepada sosok yang tidak dia cintai.

Wanita Tidak Perlu Mencintai?

Berbeda dengan kaum Adam, tipe cinta seorang wanita cenderung pada pragma dan storge. Pragma dan storge relatif lebih mudah berdamai dengan kenyataan. Tipe cinta ini bisa tumbuh seiring bersama waktu, kasih sayang, pemahaman, penghargaan, dan perhatian yang diberikan lelaki yang mencintainya. Oleh sebab itulah, wanita lebih baik bersama dengan lelaki yang mencintainya, meski (pada awalnya) dia tidak memiliki cinta yang sama.

Sampai di sini apa kamu setuju? Kalau aku, setuju tidak setuju sih. Menurutku, hal paling penting ketika kelak nanti kita saling mencintai adalah semoga kita selalu mengerti bahwa pasti akan ada masa untuk saling bertengkar dan memegang teguh argumen masing-masing. Akan tetapi, semoga saja perbedaan tersebut tidak membuat kita berselisih paham untuk hal-hal prinsip yang telah disepakati. Sebab, cinta adalah satu bagian kecil dari kehidupan yang mempunyai dampak nyata yang besar.