Innalillahi wainnailaihi raji’un, persyarikatan Muhammadiyah dan Bangsa Indonesia pada hari ini (27/05) kehilangan guru dan tokoh besarnya, Buya Syafii Ma’arif yang meninggal di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman.

Saya yang posisi sedang ngantuk di dalam bis dalam perjalanan dari Malang—Surabaya untuk menemui teman saya dikejutkan dengan informasi tersebut. Lewat status whatsapp teman, saya membaca pesan broadcast yang asalnya dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir. Dalam waktu sekejap, dada saya langsung terasa “makdeg”, sakit, dan sedih.

Sedih bukan sembarang sedih, karena sosok yang saya ikuti pemikirannya lewat tulisannya telah berpulang kepangkuan Allah. Selain itu, penyebab saya benar-benar sedih adalah dalam rentang waktu 20 tahun saya hidup dan kurang lebih 8 tahun ber-Muhammadiyah lewat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), saya baru dan hanya sekali bertemu dan mendengarkan nasehat-nasehat beliau secara langsung. Pertemuan saya dengan beliau ketika saya sebagai Lembaga Media dan Informasi PP IPM mewawancarai beliau di masjid dekat kediaman beliau.

Isi, pesan, dan nasehat beliau dalam wawancara beliau untuk pelajar khususnya pelajar Muhammadiyah dapat di simak di link berikut: 

Dalam proses wawancaranya saya punya cerita lucu atas ketidaktahuan saya.

Waktu itu adalah Bulan Ramadhan, jadi sebelum wawancara sayapun turut hadir di masjid untuk melaksanakan sholat tarawih. Hanif yang waktu (dan sampai sekarang) itu masih tidak tau apa-apa, dengan polosnya saya bertanya kepada salah satu teman saya. “Buya Syafii itu siapa e?”. “Ngawur kamu, Buya Syafii itu guru bangsa. Masak kamu gak tau!”. Harusnya kalau saya canggih waktu itu, saya bisa langsung buka smartphone dan bisamencari tau lewat mbah google. Tapi, saking polosnya saya, saya yang gak punya inisiatif ini cuma iya dan ngangguk-ngangguk aja.

Lalu, saya sampai di masjid dekat kediaman beliau, oiya kebetulan kediaman beliau lumayan dekat dengan rumah saya, hanya butuh 10-20 menit saja menggunakan sepeda motor. Setelah melaksanakan sholat isya dan kuliah tujuh menit (kultum), saya ke kamar mandi untuk buang air sebentar. Setelah buang air dan wudhu untuk kembali melaksanakan sholat tarawih, saya bergegas untuk masuk ke dalam masjid lagi.

Tapi, sayangnya saya gak bisa masuk masjid karena ada beberapa jamaah yang sholat dekat pintu masuk masjid. Alhasil saya ya sholat di samping jamaah yang ada di dekat pintu masuk. Lalu, sholat berjalan seperti biasa. Hal lucu itu-pun terjadi. Saya yang sholat di samping orang tua –bisa dibilang kakek-kakek— yang sholatnya pada awalnya dengan biasa lalu mungkin karena lelah menggunakan kursi.

Hal yang membuat saya bingung adalah kakek-kakek satu ini canggih juga. Beliau punya smartphone yang canggih dan mahal pada waktu itu. Kalo gak salah dulu smartphone merk Samsung tipe note. Smartphone flagship pada zamannya, saya yang punya hp kentang pun agak tertegun dan mbatin “Mbahnya keren juga punya hp samsung note, kira-kira siapa ya beliau?”. Sampai sholat tarawih selesai, saya masih mbatin hal yang sama.

Ketika sudah selesai, saya-pun berkumpul dengan salah seorang teman saya untuk menunggu teman lainnya datang untuk wawancara. Sambil nyeruput teh hangat sisa buka puasa saya masih belum tau yang mana Buya Syafii sebenarnya. Sampai akhirnya teman saya mengajak untuk bertemu dulu dengan Buya sambil nunggu teman satunya lagi.

Saya yang polos ini kaget, mak jegagik. Tenyata orang yang sedari tadi sholat di samping saya adalah Buya Syafii, mantan ketua umum PP Muhammadiyah sekaligus guru bangsa. Saya yang polos ini waktu itu merasa bersalah akibat ketidaktahuanku tentang beliau. Lalu kami sedikit ngobrol dan meminta Buya untuk di wawancarai dan memberi pesan untuk pelajar di Indonesia. Setelah itu, kami yang masih menunggu satu teman lagi, dikabari kalau teman kami satu ini sudah dekat dengan lokasi. Lantas saya pamit dan keluar masjid untuk mencari dia.

Ketika sudah ketemu, lalu kita kembali ke tempat Buya duduk di teras masjid. Lalu kami melakukan wawancara sekitar kurang lebih 5 menit. Setelah kami melakukan wawancara, kami sedikit berbincang lagi dengan Buya tentang tempat lembaga tempat kami bekerja. Waktu itu Buya cukup mengapresiasi gerakan lembaga media dan cita-cita kami untuk memasifkan ideologi IPM dan Muhammadiyah di dunia internet.

Singkat cerita, kami selesai wawancara dengan Buya dan beliau kembali kediamannya dengan berjalan kaki, tanpa kendaraan mewah, tanpa pengawalan ketat. Buktinya kami bisa mewawancarainya tiba-tiba tanpa membuat janji. Kembali ke cerita, setelah itu kami kembali minum teh sisa buka puasa yang kali ini sudah dingin. Saya-pun diceritakan oleh teman “tadi kamu kok lama e nyarinya?”.

lha, tadi si daffa gak ada e, jadi aku nunggu” (Daffa adalah nama samaran).

Kamu tu tadi dicariin sama Buya, katanya mana temenmu yang baju merah tadi?”. Kebetulan waktu itu memang saya pake baju berwarna merah yang lumayan ngejreng dan menarik perhatian mata dibanding warna-warna lainnya.

Saya lagi-lagi agak shock, tapi ya wajar. Mungkin Buya memang menunggu karena ada agenda lain. Tapi, saya sebagai orang yang biasa-biasa saja merasa “WOW aku di notice sama Buya, dan punya julukan lagi”.

Jadi, jangan panggil aku anak kecil paman, panggil aku si baju merah. Pemberian julukan yang gak sengaja, tapi cukup berarti buat saya karena peristiwa tersebut jadi pertemuan pertama dan terakhir saya dengan alm. Buya Syafii Maarif.

Semoga Buya diberikan sisi terbaik dan pahalanya akan terus mengalir sampai hari akhir nanti. Aamiin. Al-Fathihah.

Editor: Ciqa

Gambar: google.com