Polisi tidur menjadi salah satu strategi dalam meminimalisir laju kendaraan hingga tingkat kecelakaan di jalan raya. Biasanya, polisi tidur lebih sering ditemukan di jalan perumahan atau perkampungan. Di samping itu, polisi tidur juga terkadang meresahkan pengendara.

Dengan adanya polisi tidur, diharapkan pengendara lebih berhati-hati ketika melewati jalanan yang banyak dilalui warga. Jika mengacu kepada Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Menteri Perhubungan No. 82 tahun 2018, polisi tidur atau alat pembatas kecepatan dibuat dengan tinggi 8-15 cm, lebar bagian atas antara 30-90 cm, dan kelandaian maksimal 15%.

Tentu saja aturan ini sudah cukup rumit bagi masyarakat Indonesia. Dikira bisa asal buat saja yang penting lebih tinggi daripada landai jalannya. Masalahnya, kebanyakan polisi tidur yang dibuat asal-asalan itu justru mengganggu sampai membahayakan pengendara. Sebagai panduan yang lebih sederhana, berikut beberapa kasus polisi tidur meresahkan yang sebaiknya dihindari.

Polisi Tidur dan Pengendara

Satu kasus polisi tidur yang paling sering dijumpai adalah terlalu runcing. Jangankan mobil sedan, motor matik saja akan terdengar bunyi berderit bagian bawahnya ketika melewati jenis polisi tidur ini. Jangankan terlalu cepat, terlalu lambat melajukan kendaraan saja malah melipatgandakan efek entakan ketika melewatinya. Dari selangkangan hingga tengkorak kepala ikut berguncang rasanya.

Kasus selanjutnya adalah polisi tidur yang menyamar. Benar. Tidak hanya polisi sungguhan dari divisi intel yang sanggup menyamar sebagai abang-abang bakso sambil membawa walkie talkie. Polisi tidur juga bisa menyamar dengan warna jalan yang di sekitarnya, apalagi ketika malam tiba dan minim penerangan di jalan tersebut. Dengan demikian, pengendara yang lengah dan tidak cermat melihat jalan akan terkejut ketika melewatinya.

Masalahnya, tidak setiap kendaraan mampu bertahan dalam medan polisi tidur secara mendadak. Beberapa motor matik abang ojol yang pegasnya sudah mati sampai baut body-nya sudah longgar. Jangankan polisi tidur, jatuh di lubang jalan yang kecil saja bunyinya tidak kalah kencang daripada drum band anak SD. Onderdilnya pun bisa-bisa rontok semua.

Belum lagi abang-abang jualan yang dagangannya berantakan sewaktu melewati polisi tidur tersebut. Belum lagi kalau ada angkutan, sekalipun sudah pelan-pelan, melewati polisi tidur yang terlalu tinggi nan runcing justru memorak-porandakan seluruh isi dan penumpangnya.

Kasus ketiga adalah polisi tidur yang rusak. Beberapa bagian polisi tidur yang sudah hancur sering dimanfaatkan oleh pengendara supaya tidak terlalu terkena efek entakannya. Akan tetapi, bagian ini akhirnya sering diperebutkan para pengendara dari kedua sisi jalan. Sering kali ketika bagian tersebut berada di sisi tengah atau satu sisi jalan, namun pengendara dari arah lain masih sempat berusaha menyerobotnya.

Alih-alih tetap melaju dengan mulus, pengendara malah tidak fokus dengan keadaan di depannya. Senggolan sampai kecelakaan pun tidak bisa dihindari hanya agar mulus sesaat. Inilah sebabnya keadilan tetap menjadi hal penting, sekalipun hanya sebatas urusan polisi jalan.

Berbahaya

Terdapat juga polisi tidur yang sudah hancur, namun justru memunculkan batuan tajam sampai rangka besi yang ada di dalamnya. Tidak setiap pengendara dapat atau punya kewaspadaan untuk menghindarinya dalam setiap kondisi. Jika tidak segera diperbaiki, tentu ini merugikan banyak pihak, kecuali tukang tambal ban.

Dengan kata lain, kasus-kasus polisi tidur yang sedemikian rupa justru membahayakan pengendara. Ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, para penduduk setempat malah tutup mata akibat polisi tidur tersebut.

Dari beberapa kasus tersebut, setidaknya polisi tidur harus dibuat dengan tinggi dan lebar yang sesuai, diberikan warna yang mencolok daripada warna jalanannya sebagai tanda peringatan, hingga dirawat secara berkala dari kerusakan yang malah membahayakan pengendara.

Jika dirasa masih pusing, sila mencoba sendiri polisi tidur yang Anda buat sebelum melepaskannya sebagai sarana umum. Minta pendapat juga dari para pengendara yang sudah lalu-lalang melewatinya, anggap saja sebagai bahan survei dan evaluasi.

Selain itu, terdapat beberapa cara lain untuk mengurangi laju pengendara di jalanan, seperti pemberian markah dan rambu jalan. Hal yang sama bagi para pengendara yang harus memiliki kesadaran untuk mengendalikan kecepatan dalam berkendara, termasuk di jalan pemukiman yang sering terdapat lalu-lalang. Dengan demikian, kenyamanan di jalan raya tetap menjadi tanggung jawab bersama.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: TribunJabar.id