Pandemi COVID-19 telah memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia.  Tidak ada satupun aktivitas negara yang berjalan sesuai potensinya baik dari segi ekonomi dan politik.  Oleh karena itu, sudah seyogianya apabila komunitas global merasakan urgensi untuk bersatu melawan musibah ini.

Namun, alih-alih menyatukan dunia, kehadiran COVID-19 malah menandai perpecahan dalam iklim geopolitik saat ini.  Rivalitas politik antara Amerika Serikat dan China, misalnya, dinilai memengaruhi absensi upaya terpadu dalam penemuan vaksin.  Selain itu, pandemi ini juga memberikan indikasi buruknya sistem kesehatan global yang bersifat diskriminatif terhadap negara berkembang.

Tulisan ini akan membahas bagaimana faktor-faktor politik tersebut memengaruhi penanganan global pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai.

Politik COVID-19: Rivalitas Amerika Serikat dan China

Seperti yang kita ketahui, Amerika Serikat adalah negara yang berpengaruh dalam dinamika politik global. Pengaruh tersebut secara tidak langsung memberikan Amerika Serikat status sebagai “pemimpin” dalam tatanan politik kontemporer.  Namun, pada Maret 2020, majalah Foreign Affairs merilis artikel yang mengindikasikan potensi China untuk mengambil alih status tersebut.  Hal itu didasari oleh kesuksesan China dalam mencegah jatuhnya banyak korban jiwa, meski menjadi tempat pertama wabah itu ditemukan.  Selain itu, China juga aktif dalam memberikan bantuan medis kepada negara yang terjangkit parah seperti Italia, Prancis, Iran dan Iraq.

Fakta tersebut menjadi tamparan bagi Presiden Trump yang gagal untuk membendung penyebaran virus di Amerika Serikat. Dikutip dari artikel ilmiah Kurt Campbell dan Rush Doshi (2020), Trump berusaha untuk menghancurkan citra pemerintah China dengan menggunakan propaganda media sosial. Trump juga memfitnah pemerintah China bahwa COVID-19 adalah virus temuan yang sengaja disebar ke seluruh dunia. China pun menyikapi tuduhan tersebut dengan ejekan terhadap kebijakan buruk penanggulangan pandemi Amerika Serikat.

Perseteruan tersebut menyebabkan ketidakstabilan hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan China. Hal ini dinilai buruk bagi usaha penemuan vaksin, mengingat kapabilitas kedua negara apabila terjalin hubungan bilateral yang baik. Selain itu, perseteruan tersebut juga mencegah kedua negara untuk memimpin proyek penanganan pandemi dunia.  Upaya penanganan pun tidak berskala global dan hanya sebatas persetujuan antar negara terjangkit. Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden baru Amerika Serikat diharapkan dapat menetralisir hubungan kedua negara demi terciptanya penanganan pandemi yang lebih efisien.

Politik COVID-19 dan Sistem Kesehatan Global

Kehadiran COVID-19 mengindikasikan perlunya perbaikan dalam sistem kesehatan global. Penyebaran kualitas kesehatan yang tidak merata dan jaminan kesehatan berbayar menyebabkan lambatnya respon global menghadapi pandemi. Pandemi ini juga menunjukkan ketidaksamaan hak terhadap akses kesehatan.

Dinamika sistem kesehatan antara kelompok negara maju (Amerika Utara, Eropa Barat, Asia Timur) dan negara berkembang (Afrika, Asia Tenggara, Amerika Selatan) adalah disparitas yang perlu dibenahi. Negara berkembang identik dengan fasilitas kesehatan yang kurang memadai serta keterbatasan jumlah ahli riset dan tenaga medis. Hal-hal tersebut membuat kebijakan 3T (testing, tracing, treating) dan riset penemuan vaksin lebih sulit terlaksana.

Meski beberapa negara maju terbukti memuncaki tabel penyebaran virus berskala domestik, fasilitas kesehatan yang mumpuni memberikan mereka kapabilitas untuk melaksanakan program 3T secara merata.  Misalkan, menurut data worldometers per tanggal 8 November 2020, negara maju seperti Jerman, Prancis dan Inggris telah melakukan total jumlah swab test sebanyak 75 juta kali percobaan.  Sementara itu negara berkembang seperti Indonesia hanya melakukan jumlah swab test kurang dari 5 juta kali percobaan.  Perbedaan tersebut sangat mencolok mengingat jumlah populasi Indonesia masih lebih besar dibandingkan total gabungan tiga negara maju tadi.  Mengesampingkan buruknya respon pemerintah, perbedaan tersebut juga merupakan indikasi adanya disparitas dalam kualitas fasilitas kesehatan.

Permasalahan berikutnya terdapat pada daya beli negara berkembang terhadap vaksin COVID-19.  Di saat negara berekonomi kuat seperti Amerika Serikat, China dan Rusia berlomba-lomba menemukan vaksin, negara berkembang justru harus memikirkan pengeluaran yang tidak sedikit untuk pembelian dan pendistribusian lokal vaksin pada masa yang akan datang.  Selain itu, apabila vaksin tidak dibagikan ke masyarakat secara gratis, kemiskinan dan lemahnya daya beli masyarakat di negara berkembang juga dapat mencegah penyebaran vaksin secara merata.

Sriram Shamasunder dan kolega (2020) berargumen bahwa dinamika kesehatan global saat ini merupakan peninggalan masa kolonial yang lebih mementingkan pencegahan virus menular dari negara terjajah kepada negara penjajah. Mayoritas negara terjajah tumbuh menjadi negara berkembang yang potensi sumber daya manusianya habis dikeruk melalui proses brain drain. Sementara negara penjajah tumbuh menjadi negara maju yang mempunyai dana dan sumber daya manusia yang lebih baik.

***

Oleh karena itu, pemimpin dunia diimbau untuk lebih memerhatikan masalah kesehatan sampai ke akarnya.  Penanganan pandemi perlu dilihat bukan hanya dari proyek penemuan vaksin, tapi juga dari perbaikan sistem kesehatan global.

Penulis: Azka Dewarizqi Gunawan

Penyunting: Aunillah Ahmad

*Ditayangkan dengan judul “Topeng Politik COVID-19: Menyoal Absensi Upaya Global Penanganan Pandemi” pada Senin (9/11).