Bagi warga +62, pasti sudah tidak asing dengan aplikasi TikTok yang sangat trending tiap tahunnya. Aplikasi ini sangat diminati warganet di berbagai kalangan, mulai dari anak-anak usia rata-rata 12 tahun sampai lansia yang ikut terseret oleh cucunya untuk menghasilkan konten menarik dengan memanfaatkan romansa dance ala orang lansia. Namun, pro dan kontra terkait aplikasi TikTok juga tidak dapat terelakkan.

Siapa sangka, aplikasi asal China ini mencuat pada awalnya dengan sebutan lain, yaitu Douyin pada bulan September tahun 2016 yang hanya dikonsumsi oleh warga negara China. Konten yang digarap tidak jauh beda dengan yang saat ini berupa video pendek dengan tiap durasi 15 detik. Douyin sangat populer dalam kurun waktu setahun mendongkrak 100 juta member.

Merebaknya pengunjung Douyin dengan angka 1M per hari menampilkan eksistensi Douyin yang menarik pasar. Berdasar uji coba ini, akhirnya oleh pemerintah China mengeluarkan revisi nama yang lebih sederhana dengan sebutan TikTok. Jepang dan Thailand menjadi konsumen pertama dari kalangan mancanegara melalui pengunduhan di AppStore atau iOS tahun 2017.

Terobosan TikTok di Indonesia

Bagi warga +62 sendiri baru mengkonsumsi TikTok pada tahun 2018 dengan kreator dance yang terlalu narsis. Bisa dikatakan bahwa TikTok masa itu sekedar hiburan semata yang kurang mendidik sehingga Kominfo menutup akses penggunaan. Konten-konten yang dimuat masa itu masih dengan standar trending top up lagu-lagu koplo.

Aplikasi TikTok membebaskan pengguna untuk saling mengadu kreativitas bermusik dan mengolah kebugaran jasmani serta pikiran. Video pendek yang dihasilkannya juga tidak membosankan, karena telah tersedia ragam fitur yang memperunik video. Tersedia juga tagar challence yang menambah keseruan TikTok.

Menyoal Pro dan Kontra TikTok

Bukan sekedar dari kalangan kelas bawah sebagai member TikTok, melainkan artis sebagai public figure sampai pejabat ikut berbaur di dalamnya. Perpaduan musically, bytedance, dubling, dan lypsing menjadi keseruan bagi kreator untuk memainkannya. Kini TikTok bukan lagi sekedar hiburan atau olah kebugaran, menariknya adalah TikTok sebagai salah satu media dakwah.

Sebagaimana yang dipopulerkan Husain Basyabain melalui akunnya @basyasmanOO, dia telah memberikan nuansa baru dakwah kontemporer bagi kalangan muslim. Pengikutnya telah sampai angka 643.2K dengan likers 11.4M. Sungguh angka yang terbilang cukup fantastis bagi member TikTok.

Husain memanfaatkan media TikTok dengan gaya gaul seperti kalangan muda pada umumnya. Melalui ajang monolog, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan viewrs ia berkreasi dakwah. Kontennya sudah cukup banyak dan mudah diakses bagi siapa saja yang telah mendownload TikTok.

Berbeda pandang dengan Lina Sarina sebagai anti TikTok yang justru mengatakan berbagai unsur negatif di dalamnya. Dalam videonya, Lina tidak setuju penggunaan TikTok di kalangan muslim. Bagi Lina, TikTok hanya merusak moral yang tidak mengikuti sunnah Rasul bahkan mempermalukan muslim.

Pada konten TikTok banyak yang menunjukkan perilaku tidak sopan semisal pakaian yang terbuka, maupun ibadah yang dipertontonkan. Seharusnya, wajah Islam lebih mawas diri untuk menjaga aurat, dan tidak bersifat riya’ (sombong). Kebanyakan dance TikTok juga mengundang syahwat melalui kemolekan gaya tubuh.

Berdalih alibi kesusahan warga muslim di Syiria, Lina berasumsi TikTok seakan-akan mengejek Islam dengan bersenang-senang di atas penderitaan muslim lainnya. Apalagi pencipta aplikasi ini adalah non muslim warga China. Jika seorang muslim berbaur di dalamnya sama saja dengan mendukung konten-konten non-muslim. Namun, terlepas dari pro dan kontra TikTok tersebut, sikap bijak harus dikemukakan.

Moderasi TikTok

Selayang pandang warga +62 pada umumnya tidak mendukung pemikiran Lina. Justru mereka berasumsi bahwa sebenarnya TikTok merupakan perkembangan teknologi yang tidak seharusnya dihindari. Selayaknya Husain yang mampu menggunakan TikTok untuk berdakwah yang disenangi oleh kaum milenial.

Fitur TikTok sebenarnya juga tidak hanya menyajikan dance atau pemikiran kreator, jika member kreatif, segala bidang bisa untuk jadi pembahasan konten, seperti info kuliner atau info menarik seputar film. Tidak sedikit juga konten TikTok yang menjadi trending untuk story WhatsApp karena info yang tersirat dalam kontennya.

Walaupun demikian, tetap ada juga warga +62 yang mendukung pemikiran Lina yang anti TikTok. Alasan tambahan bagi para anti TikTok yang tidak dikemukakan Lina di antara penonton setianya adalah khawatirnya atas resiko keterlibatan deepfake face yang mana ilustrasi wajah diambil dari aplikasi-aplikasi tertentu (deep web) yang hendak disalahgunakan.

Penonton video Lina Sarinah dalam hal ini lebih bijak, dia mengemukakan bahwa TikTok sebenarnya baik, karena menunjukkan kreativitas seperti tutorial make up, koregrafi dance yang tidak berbau SARA. Selain itu, pengguna TikTok tidak semuanya dapat diklaim muslim.

Tentu batasan kesopanan muslim dengan non-muslim berbeda, itulah mengapa ada kreator TikTok yang berpakaian terbuka. Begitupula aliran mazhab tiap muslim berbeda-beda yang tidak benar untuk disalahkan. Kewaspadaan terhadap teknologi memang boleh agar tidak terjerumus arus yang mudah terombang-ambing.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Kompas.com