Siapa yang tak kenal Prof. Nurcholish Madjid atau yang biasa disapa Cak Nur. Belum lengkap kemahasiswaan seseorang apabila belum membaca karya-karya bernas dari salah seorang begawan ilmu pengetahuan Indonesia ini. Apalagi jika mahasiswa itu, berafiliasi dengan organ hijau-hitam itu. Beehh, harus banget tuh ngorek-ngorek karya Cak Nur ini, minimal biar ngak dibentak senior. heheuheu.

Saya salah seorang yang merasa beruntung, karena mengenal karya Cak Nur sejak Aliyah. Berkat mengorek rak buku bacaan bapak. Saya membaca salah satu karya masyhurnya: Khazanah Intelektual Islam. Buku cetakan pertama terbitan tahun 1984 itulah yang mengawali “pemberontakan” intelektual saya. Walau Cak Nur disini bertindak sebagai editor, namun kepiawaian Cak Nur dalam mengolah bacaan benar-benar terlihat untuk pencerahan umat.

Beberapa mengatakan bahwa, walaupun sudah mahasiswa, tidakboleh sembarangan bersentuhan dengan pemikiran Islam. Minimal semester tiga baru mendapatkan mata kuliah itu. Karena salah-salah akan justru tergelincir dan terjerembab dalam kubangan lumpur intelektual yang kotor dan kemudaratan. Belum lagi, curhatan dari guru-guru yang menjudge Cak Nur sebagai intelektual liberal Indonesia. Ungkapan horor itu tidak mampu membuat saya jadi takut membaca karya Cak Nur itu. Sebab menurut saya sebaliknya, jika hal itu benar-benar kita nikmati dan sadari, asyiknya diskursus khazahan pemikiran Islam dan islamic studies bisa benar-benar dirasakan.

Namun, apalah daya untuk siswa yang baru seumur jagung ini, langsung mengembara menelusuri belantara hutan  pemikiran Islam. Bahasa dan tema tulisan yang berat membuat saya hampir menyerah membaca buku itu. Baru mukadimah saja, saya sudah disodorkan istilah-istilah ruwet semacam: peristiwa mihnah, Platonisme, revolusi Mesopotamia dan seterusnya yang baru saya dengar lewat buku itu. Praktis dari mukadimahnya saja, saya belum mengerti sama sekali. Padahal sudah dua kali saya mendaras ulang isi mukadimahnya.

Bersabar untuk Memahami, dan Memahami Lagi

Setelah tamat Aliyah dan masuk pada salah satu kampus Islam. Praktis buku itu saya jadikan salah satu referensi untuk perkuliahan. Mengutip beberapa kalimat dalam buku itu untuk forum diskusi membuat saya lebih percaya diri. Keren? tentu saja pembaca, karena kelihatannya baru saya saja yang sudah membaca buku Cak Nur dalam kelas itu. Walau isinya belum saya pahami hahaha.

Setelah puluhan purnama lewat, saya kembali membuka buku Khazanah Intelektual Islam. Sekali lagi saya membaca ulang, kali ini lebih hati-hati dan sedikit bersabar. Pada bab mukaddimah, tangkapan saya sudah lumayan berkembang. Peristiwa mihnah (inkuisisi) yang terjadi pada Dinasti Abbasiyah sudah menemui titik terang. Selain itu,

Cak Nur menggambarkan pemikiran deretan filsuf muslim dimulai dari Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Khaldun yang terus berdialektika mencari kebenaran. Tak lupa perdebatan Al Ghazali dan Ibnu Rusyd hingga lahirnya tahafut at tahafut  dan tahafut al falasifah sudah bisa dipahami dengan baik.

“Pemberontakan” intelektual itu sudah benar-benar kelihatan. Membaca mukadimahnya saja sudah membuat saya kagum dan mendapat pencerahan baru tentang genealogi intelektulisme Islam yang tidak sederhana yang tidak bisa dilepaskan dari peran tradisi Yunani. Ilmuwan muslim ternyata meneruskan tradisi Yunani klasik itu. Tentu saja dengan penyesuaian-penyesuaian.

Memahami Karya Cak Nur Tak Cukup Hanya Dengan Membaca

Pucuk dicinta ulam pun tiba, ditahun 2019 lalu Nurcholish Madjid Society menerbitkan ulang buku Khazanah Intelektual Islam  itu, sekaligus mengadakan diskusi yang menghadirkan Gus Ulil Abshar Abdalla, Ignas Kleden dan Wahyuni Nafis.

Dalam diskusi yang penuh keakraban itu, Saya tertarik dengan keterangan yang disampaikan oleh narasumber. Terutama Gus Ulil Abshar Abdalla yang menjelaskan bagian mukadimah buku. Dengan mendengar penjelasan Gus Ulil yang runut dan mengkonstruk mukadimah buku itu dengan menarik. Lagi-lagi saya tak bisa menyembunyikan kekaguman. Ternyata kontruksi Cak Nur tentang Islam sangatlah revolusioner, dengan menitik beratkan pada sahabat Umar bin Khattab yang lain dari penjelasan buku-buku maistream lainnya.

Begitupun Ignas Kleden, dengan menjelaskan peran dan pemikiran filsuf-filsuf muslim yang begitu kompleks pada zamannya itu. Pak Ignas telaten dengan gaya humornya sambil mengenang masa-masa awalnya bertemu Cak Nur dan bekerja pada Yayasan Obor itu.

Memahami karya-karya Cak Nur tak cukup dengan kita berhenti hanya pada membaca saja. Tak ada salahnya kita juga mendengar penjelasan langsung dari “anak pemikiran” Cak Nur dan orang-orang yang lebih dahulu membaca buku itu, agar kita paham dan tidak “tersesat” dalam kubangan lumpur intelektual itu.

Sudah lima belas tahun pembaharu itu pergi meninggalkan kita, meninggalkan PR yang tidak ringan untuk generasi selanjutnya. Orang bertanya dengan sinis adakah yang akan meneruskan jejak Cak Nur dalam membersamai umat pada jalan pembaharuan sekaligus kesufian. Jalam yang kemodernan yang tak lupa akarnya. Jalan yang kiri namun tak menafikkan yang kanan. Jalan rasional yang tak memungkiri keghaiban.

Selamat haul untuk Cak Nur!