Sejatinya perbuatan amal kebaikan dalam Islam selalu menimbulkan efek kebaikan sosial. Hal ini dikarenakan semua aspek ibadah dalam Islam selalu memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal (ketuhanan/hablun minallah) dan makna horizontal (kemanusiaan/hablun minannas). Seorang muslim yang taat beribadah tidak serta merta dikatakan taat beragama jika kesalihan sosialnya tidak terbentuk. Begitupun sebaliknya yang mencerminkan bahwa fungsi vertikal dan horizontal harus berjalan beriringan dalam pribadi seorang muslim.

Adapun puasa di Bulan Ramadan, selain bernilai spiritual, ibadah ini juga bernilai sosial. Puasa merupakan rukun Islam yang ke-3 yang wajib dilakukan oleh setiap muslim laki-laki dan perempuan yang sudah mencapai usia baligh (mukallaf) dan berakal. Kewajiban berpuasa ini sudah termaktub dalam ayat fenomenal yang menggaung dari masjid ke masjid di setiap Ramadan, yaitu surat Al-Baqarah ayat 183. Allah mengakhiri ayat tersebut dengan sebuah cita-cita akhir atau output dari ibadah berpuasa berupa gelar orang bertaqwa.

Taqwa sebagaimana yang sudah masyhur dikenal adalah mengerjakan segala perintah yang diwajibkan oleh Allah dan menjauhi segala larangan yang diharamkan oleh Allah. Menjadi pribadi yang bertaqwa adalah sebuah cita-cita ideal yang didambakan seorang muslim. Derajat ini akan dicapai hanya bagi orang-orang yang betul-betul mampu beribadah puasa dengan mengikuti aturan yang diajarkan oleh Al-Qur’an dah Hadis Nabi Muhammad.

Di antara inti pokok berpuasa adalah menahan dari dari segala yang memebatalkan puasa. Termasuk juga di dalamnya ada perbuatan yang mengurangi pahala puasa. Boleh jadi seseorang mampu berpuasa secara penuh dari sebelum terbit fajar hingga menjelang maghrib. Tapi siapa tahu jika pahala puasanya hanyalah sia-sia, terkena parasit perbuatan keji yang menggugurkan pahala puasa. Mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Di antara perbuatan keji yang harus dijauhi ketika berpuasa adalah berkata dusta.

Nabi Muhammad bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Barangsaiapa yang tidak meninggalkan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak membutuhkan dia untuk meninggalkan makan dan minum.” Dari hadis tersebut dapat kita maknai bahwa puasanya orang yang tidak mampu meninggalkan dusta sama sekali tidak diterima oleh Allah.

 

Puasa dan Pendidikan Karakter

Berkata dusta sangat erat kaitannya dengan salah satu bagian dari otak. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa otak bagian terdepan yang terletak pada ubun-ubun itulah yang paling bertanggungjawab terhadap terjadinya dusta. Penemuan ilmuwan ini sebetulnya telah dikemukakan jauh terlebih dahulu oleh Al-Qur’an. Sejak berbad-abad lalu Al-Qur’an telah membicarakan fungsi ubun-ubun ketika sedang membicarakan Abu Jahal dengan kata nashiyah. “Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 15-16.

Fakta ilmuwan yang mengaktualisasikan ayat Al-Qur’an ini merupakan sebuah bukti kemukjizatan Al-Qur’an yang selayaknya mampu meningkatkan keimanan setiap insan. Kenyataan seperti inilah yang ditemukan oleh para ilmuwan masa sekarang dengan menggunakan pemindahan resonansi magnetik. Seyogyanya para pemuda dapat memaknai puasa Ramadhan sebagai ajang untuk melatih diri untuk bersikap jujur.

Inti dari Islam adalah akhlaq yang mulia. Sebagaimana tujuan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ke muka bumi, yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Di antara nilai akhlak yang paling utama dan mendasar adalah bersikap jujur. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam hadis: “berpeganglah kalian pada kejujuran, karena itu akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seorang hamba yang senantiasa berbuat jujur dan membiasakan sifat ini akan tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang shiddiq (jujur). Berhati-hatilah kalian dari dusta, karena dusta itu akan membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan itu akna membimbing ke neraka. Seorang hamba yang senantiasa berdusta dan membiasakannya akan tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

 

Penulis: Firdan Fadlan Sidik