Kita, sebagian besarnya, mengamini bahwa kekuatan terbesar seorang manusia adalah kesabaran. Seberat apa pun masalah dan halangan yang terjadi, akan bisa dihadapi tanpa menumbangkan nyawa orang atau hal lain di luar kendali kita. Asalkan bukan berupa deraan fisik; bisa melukai, bisa mencederai, bisa mengancam keselamatan nyawa.

Itu sebabnya, manakala ada keluarga, kerabat, teman, maupun rekan yang mengalami musibah, nasihat paling lazim yang bisa kita sampaikan adalah “Yang sabar, ya…” Mudah disampaikan kepada orang lain, tetapi sesungguhnya teramat sulit untuk dipraktikkan oleh diri sendiri.

Seperti Nenek saya yang harus “memilih” untuk bersabar dan ikhlas menerima kalau beliau tidak jadi berangkat Haji di tahun ini. Kita tahu, keberangkatan haji bukanlah perjalanan biasa. Perjalanan yang punya nilai sentimentil dan penuh pengorbanan, baik dari segi materi maupun waktunya. Maka, saat pemberangkatan tahun ini dibatalkan, bisa kita bayangkan bagaimana rasanya. Lagi dan lagi, karena bukan kita yang mengalami kejadiannya secara langsung, yang bisa dilakukan hanya bisa menghibur dan berkata, “yang sabar ya!”

Tapi beberapa hari yang lalu ada kejadian yang berbeda. Setelah hampir 3 bulan di rumah aja, akhirnya aku janjian dengan salah satu teman karena ada urusan. Namanya juga sudah lama nggak ketemu, pastinya ada colong-colong curhat dan malah keasikkan sendiri.

Di tengah-tengah obrolan seru kami, salah satu pelayan laki-laki yang ada di situ menggoda kita dengan manggil-manggil nggak jelas. Karena benci banget sama modelan begini, aku menyuruhnya untuk minta maaf. Mungkin karena kondisinya yang udah nggak kondusif, akhirnya temanku bilang, “Udah kalau mau ribut, kita pulang aja, tapi semisal mau sabar, yaudah diemin aja!”

.

Dua kejadian di atas menyadarkanku pribadi bahwa ternyata ada beberapa hal yang selalu luput dari perhatian kita. Kesabaran itu bukan sekadar sifat. Ia merupakan pilihan dan tindakan aktif. Berawal dari diajarkan dan dilatih sejak kecil, bertumbuh seiring usia, lalu tersedia sebagai bentuk respons yang bisa dilakukan sewaktu-waktu.

Mereka tidak semata-mata mampu bersabar, melainkan mau bersabar. Dan ini ialah sebenar-benarnya privilege, sebuah keistimewaan. Bagaimana seseorang bisa bersabar jikalau tidak memilikinya? Mungkin memberikan balasan yang sama kerasnya, atau justru pergi sekalian.

Dan karenanya, kita tidak bisa meminta, apalagi menyuruh orang lain untuk bersabar. Terlebih untuk perkara-perkara yang kita perbuat terhadap mereka. Kita tidak bisa “mengambil” stok kesabaran orang lain secara semena-mena, tetapi kita seringkali melakukannya baik sadar ataupun tidak. Terus-menerus.

Jadi, yuk sama-sama belajar untuk menjadi pribadi yang lebih mudah memilih bersabar, pun menghindari orang lain untuk bersabar karena perbuatan yang kita lakukan.