Suatu kali, saya membaca cerita tentang seseorang yang merasa malu akan sebuah peristiwa. Ia baru saja membuat puisi indah nan romantis untuk dibacakan di depan kelas. Puisi itu dibuat dan diketik dengan sangat apik, berharap pesan cintanya turut sampai pada si pujaan hati yang juga berada di kelas yang sama.

Namun, situasi romantis yang dibangun sejak awal pembacaan puisi mendadak ambyar hanya gara-gara persoalan sepele: salah ketik. Di salah satu bait puisnya, terdapat kalimat aku tahu yang berubah menjadi aku tahi karena kesalahan pengetikan. Sepele banget, kan? Tapi, efeknya fatal. Seluruh kelas yang awalnya kagum dan dalam suasana romantis, justru berubah menjadi lawakan komedi.

Kali lain, saya juga membaca cerita tentang seorang anak yang mendapatkan teguran dari ibunya karena dianggap mengirimkan chat dengan kata-kata yang nggak senonoh. Si anak menulis ‘anjing’, padahal seharusnya ‘anting’. Semua gara-gara fitur prediksi teks di ponsel pintar. Meskipun sudah meminta maaf dan menjelaskan duduk perkaranya, tetap saja si anak tadi kena omelan ibunya.

Sebenarnya, urusan salah ketik ini memang terlihat sepele dan nggak perlu dibesar-besarkan. Namanya manusia, pasti juga ada lalainya dan itu sifat manusiawi. Tapi, menjadi nggak lagi sepele kalau urusannya seperti dua peristiwa yang sudah saya sebutkan. Atau, salah ketik ketika chat pada guru, pacar, gebetan, atasan, klien, dan orang-orang penting lainnya.

Beberapa Penyebab Salah Ketik

Ada banyak penyebab salah ketik. Di ponsel, terdapat fitur prediksi teks yang membantu untuk mempercepat pengetikan. Tapi, namanya saja sistem, tentu nggak paham apa sebenarnya keinginan penggunanya.

Di kasus kedua yang saya ceritakan di atas, kata anjing muncul lebih awal dari pada kata anting. Hal tersebut bisa karena dua kemungkinan. Pertama, kata anjing sering banget dipakai oleh si pemilik ponsel, sehingga sistem memunculkan lebih awal. Kedua, huruf J letaknya di awal huruf T. Makanya, kata anjing dimunculkan lebih dulu oleh sistem daripada kata anting.

Selain pengaruh prediksi tadi, saltik juga bisa terjadi karena terlalu fokus. Saya pernah mengalami hal ini. Saking fokusnya mengeluarkan ide-ide dari kepala dan menyalurkannya dalam bentuk tulisan, saya nggak sadar kalau menuliskan judul dengan salah. Kata “Graduate” menjadi “Gradute.” Ironisnya, hal ini justru saya sadari ketika tulisan tersebut lolos kurasi dan dimuat di suatu media. Hiks, sebel dan greget secara bersamaan.

Kasus salah ketik saya yang lain juga bersumber dari letak huruf yang bersebelahan. Letak huruf I dan U berdempetan. Makanya, saat mau ngetik ‘tau’, seringnya malah keliru menjadi ‘tai’. Huruf N dan M juga sama. Biasanya, saat saya mau mengetik kata ‘panu’, jadinya malah ‘pamu’, ‘kamu’ berubah menjadi ‘kanu’. Pokoknya sebel banget, deh.

Ada juga kasus salah ketik yang saya alami bersumber karena jempol yang kebesaran. Iya, jempol saya kebesaran untuk ponsel yang saya gunakan. Di ponsel saya, letak tanda baca titik berada di bawah huruf M. Tiap kali akan mengetik kata-kata dengan unsur huruf M, biasanya simbol titiknya juga ikut terseret. Akibatnya, kata yang saya tulis nggak lagi terbaca.

Tanda baca titik di ponsel saya ini letaknya bersebelahan dengan tombol enter dan spasi. Maka, sudah dipastikan saat menggunakan kedua tombol tersebut, tanda titik juga sering ikutan nyempil. Pada akhirnya, saya malah memilih mengetik dengan menggunakan satu jari telunjuk saja. Persis, seperti dulu saat awal-awal saya pegang komputer. Hehe.

Menghindari Salah Ketik, Menghindari Kesalahpahaman

Jika salah ketiknya hanya persoalan sepele seperti kasus saya tentang “Graduate” menjadi “Gradute”, maka hal ini tentunya nggak masalah. Namun, bagaimana jika kasusnya seperti kedua cerita yang saya sebutkan di atas? Tentunya bikin malu dan malah menimbulkan bencana baru.

Maka dari itu, untuk menghindari persoalan seputar salah ketik ini, lebih baik membaca dan melakukan pengecekan kembali akan tulisan-tulisan yang sudah dibuat sebelum dikirimkan pada orang lain. Hal ini berguna untuk meminimalisasi kesalahan yang dibuat dalam suatu tulisan.

Bagi para penulis, khususnya yang suka menulis artikel, esai, opini, dan sejenisnya, dan dikirimkan ke media, melakukan pengecekan kembali adalah sebuah kewajiban. Selain untuk mengurangi kesalahan penulisan dan tanda baca, juga dapat menjadi poin tambahan bahwa tulisan tersebut sesuai kaidah Bahasa Indonesia. Enak dibaca atau nggak; Apakah kalimat dan paragraf yang disusun berpadu satu sama lain; Terpenting, tentu saja untuk memudahkan kerja para editor media-media tersebut.

Jadi, biar nggak lagi merasa greget sama persoalan salah ketik yang sepele ini, mulailah sering-sering mengecek tulisan kamu!

***

Penulis: Siti Halwah

Penyunting: Aunillah Ahmad