Juni telah memasuki pekan ketiga, artinya bulan keenam dalam pengkalenderan Masehi ini akan segera berganti. Tiap-tiap Juni kita akan mengingat dan merayakan beberapa hal, mulai dari hari lahir Pancasila, hari lahir Presiden Jokowi, tapi bagi peminat sastra Indonesia, Juni adalah selalu tentang penyair dan puisi sepanjang zamannya yang ikonik: Sapardi Djoko Damono dan Hujan Bulan Juni.

Sapardi dan Hujan Bulan Juni

Nama Sapardi sebagai penyair dan sastrawan semakin berkibar, ketika Hujan Bulan Juni diperkenalkan dalam bentuk musik oleh duo folk Ari-Reda. Lewat musikalisasi puisi, Sapardi menemui pendengar –tidak lagi hanya pembaca– menjadikan salah satu karya sastranya, yakni Hujan Bulan Juni sebagai salah satu puisi yang dekat dengan semua kalangan dan lapis masyarakat. Melalui medium ini Sapardi mengajak orang-orang melihat, mendengar, membaca, dan merasakan kehadiran puisi dari dekat.

Sebagaimana yang lain, Sapardi menjadikan cinta sebagai bahan bakar dalam karya puisi-puisinya, tapi tentu dengan cara dan gayanya sendiri. Bahkan mungkin, justru Sapardi keluar dari pakem dan telah menciptakan genre baru di ranah kesusastraan Indonesia.

Jika  W.S Rendra dikenal  dengan balada dan sajak-sajak pamflet, atau Cak Nun atau Remy Sylado dengan sajak mbeling, maka kata Andries Teeuw, orang Belanda yang pengamat sastra Indonesia itu,  untuk genre puisi Sapardi “Belum ada nama yang sesuai untuknya”.

Meski begitu, benang merah dari kepenyairan Sapardi adalah cinta. Dengan premis dan tema yang sederhana itulah, cara tutur Sapardi terasa liris tapi mewah. Bahkan terlalu mewah untuk menyembunyikan perasaan takut dan canggung, dan gugup, dan semua kaitannya dalam urusan percintaan antar insan, atau lebih jauh, alam.

Sapardi menggunkan metafora hujan sebagai penggambaran. Begitulah cara puisi yang bagus bekerja. Dan begitulah ” Hujan Bulan Juni” bekerja. Bacalah 3  baris dalam puisi, yang ditulis tahun 1989 itu :

/1/

“tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu”

Cinta dalam puisi Hujan Bulan Juni, tidak bicara soal hasrat menggebu-gebu melainkan perasaan tabah. Tidak juga keberanian berbicara tetapi menyimpan kangen pada pohon yang berbunga.

/2/

“tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu”

Cinta dalam Hujan Bulan Juni bukanlah rasa memiliki, melainkan soal menunggu, meski harus dengan perasaan ragu, dan manusia seringkali berharap pada sesuatu yang ketika disingkap adalah sia-sia.

/3/

“tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu”

Tiap bait demi bait dalam puisi Hujan Bulan Juni seumpama jembatan. Kita akan menyeberanginya kemudian melakukan perjalanan menempuh lelah, menuju ketabahan dan agar menjadikan kita lebih bijak dan arif dalam menyikapi hidup.

Tak ada Hujan Bulan Juni

Puisi yang baik adalah puisi yang mengajak pembacanya untuk bercakap-cakap, berdialog. Agar terbuka pintu pemaknaan yang baru, agar tidak terkunci dan agar pembaca tak menemui kebekuan bahasa. Dan jelas itu bukan perkara yang gampang.

Menulis puisi, bagi penyair adalah sesuatu yang lain. Tak sama dengan membaca, menulis puisi adalah sesuatu yang meresahkan, karena penyair terlibat dan merupakan tangan pertama dalam menciptakan dialog itu. Dalam prosesnya, tak selalu penyair menemukan kata-kata dengan energi yang tinggi, ia harus lebih dulu bergulat dan menjemput kata-kata itu.

Demikianlah Sapardi. Menulis puisi baginya tidak sama dengan menunggu Ilham. Puisi lahir dari niat, sesuatu yang diusahakan, pengalaman dan kegelisahan adalah bagian kecil dari perkawinan itu.

Rumus yang sama ketika Sapardi melahirkan puisi yang kemudian abadi itu, puisi yang petikan bait-nya dipakai untuk merayu, menyatakan cinta pada kekasih, bahkan jadi tembang ketika galau.

Dengan bahasa yang lembut dan lugas, juga imaji-imaji sederhana, permainan metafora dan majas, Sapardi melalui “Hujan Bulan Juni” menunjukkan pada kita bahwa cinta tidak hanya muncul dari yang hal-hal yang bersifat insidental semacam pandangan pertama, melainkan juga muncul dari memori masa lalu, yang kerap baru disadari sepasang insan ketika sedang ditumbuhi bunga-bunga cinta atau ketika sedang patah.

Kita tahu, puisi adalah permainan kata-kata, bunyi, bahasa simbol. Dan karenanya puisi menembus batas-batas waktu.

Kita hampir melewati Juni dan tak ada hujan di bulan yang panas ini. Dan memang, puisi “Hujan Bulan Juni” ditulisnya tidak dalam musim hujan. Jika kita mengamini ilmu Klimatologi, maka Juni di langit yang beriklim tropis adalah kemarau yang kering.

Hujan Bulan Juni adalah puisi dan penggambaran tentang cinta, dan cinta adalah sesuatu yang dirindukan, meski kadang mustahil. Namun sesuatu yang tabah dan yang arif akan selalu ada, meski hari berganti, meski tak ada hujan dan bulan tidak lagi bernama Juni. Kaukah itu?

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad