Seberapa syar’i kita?

Hai guys, adakah yang akhir-akhir ini menemui fenomena hijrah di sekitarmu? Fenomena ini biasanya nampak yang perempuan awalnya nggak berjilbab menjadi berjilbab, kemudian memakai cadar. Yang laki-laki biasanya tidak berjenggot, kemudian berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki. Selain itu, masyarakat menginginkan gaya hidup serba syar’i. Misalnya mencari hotel yang syar’i, halal food, hijab syar’i, jas hujan syar’i, sampai nikah syar’i. Apakah selama ini pernikahan tidak syar’i atau belum syar’i?

Masalahnya kadang mereka nggak paham itu syar’i, menyalah-nyalahkan orang yang berbeda paham dan praktik keagamaan, kemudian mengkafir-kafirkan orang lain. Pertanyaannya adalah bagaimana sih sebenarnya syar’i itu?

Bagi saya, syar’i adalah sebagai tercapainya tujuan syariat Islam. Seorang dikatakan syar’i apabila mampu merealisasikan nilai-nilai ajaran Islami dalam kehidupan nyata. Maqashid al-syariah sebagai indikator “syar’i”. Dalam tujuan syariat Islam adalah “menghindari kerusakan sesedikit-sedikitnya dan meraih kebaikan sebanyak-banyaknya”. Maqashid al-syariah bertujuan untuk mencapai maslahah (common good).

Konsep Maqashid al-syariah diformulasikan Al-Ghazali dalam karyanya Al-Mustashfa min  ‘Ilm al-Ushul dan dikembangkan secara sistematis oleh Al-Shatibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi Ushul Syariah. Al-Ghazali and al-Shatibi, telah berkontribusi bagi lahirnya tujuan syari’ah. Adalah Jasser Audah dalam Maqasid al-Sharia as Philosophy of Islamic Law: A System Approach (2007) berhasil melakukan kontekstualisasi al-daruriyyat al-khams di dalam ruang “reformasi dan pembangunan” yang sesuai dengan prinsip-prinsip universal HAM.

Jika titik tekan maqashid lama lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan), maka teori Maqasid baru lebih menekankan pada development (pembangunan; pengembangan) dan right (hak-hak). Teori ini dapat dijadikan indikator serta prinsip-prinsip atau ciri-ciri gaya hidup syar’i. Apa saja ciri-ciri hidup syar’i itu?

Pertama,

Menjaga agama (hifz al-Din). Syar’i itu menjaga kemurnian Tauhid, di saat yang sama bisa menjaga, melindungi dan menghagai agama dan keyakinan orang lain. Kalau kita masih bertengkar gara-gara beda agama, beda keyakinan, dan beda paham berarti belum bisa disebut syar’i.

Kedua,

Menjaga jiwa (hifz al-Nafs). Kita menjaga dan mendapatkan jaminan hak-hak kesehatan jasmani dan rohani.  Kebutuhan tersebut antara lain pangan, sandang, dan papan. Sehingga sehat, tidak kurang gizi, bisa berobat ke dokter yang berkualitas secara terjangkau, dan mendapat imunisasi  Maka nggak merokok, hidup bersih, dan olahraga merupakan bagian dari menjaga jiwa.

Ketiga,

Menjaga akal (hifz al-Aql). Syar’i itu orang yang menjaga dan mendapat jaminan pendidikan, intelektual, serta pengembangan riset dan ilmu pengetahuan. Indikatornya antara lain: akses kepada pendidikan dari pra-sekolah sampai pendidikan tinggi; institusi riset, perpustakaan, dan dana riset untuk melipatgandakan pola pikir dan riset ilmiah; serta beasiswa sebagai pengutamaan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan

Keempat,

Menjaga keturunan (hifz al-Nasl). Syar’i adalah orang yang berorientasi kepada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga dan menjaga kehormatan pribadi dan keluarga. Indikatornya sederhana sederhana : nggak berzina, pelatihan pra-nikah, sampai menjaga nama baik keluarga.

Kelima,

Menjaga harta (hifz al-Mal). Syar’i itu adalah orang yang mengutamakan kepedulian sosial, menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi, mendorong kesejahteraan manusia, serta menghilangkan jurang antara miskin dan kaya. Karena itu, orang yang syar’i adalah orang yang gemar bekerja, gemar berinfak dan sedekah, nggak mencuri, dan berjiwa bisnis sosial.

Keenam,

Menjaga lingkungan (hifz al-Bi’ah). Syar’i itu menjaga, merawat dan melestarikan alam sekaligus pencegahan perusakan lingkungan. Pemanfaatan sumber daya lingkungan dan alam secara sedang-sedang (tawassuth) dan  jauh dari pemborosan (israf) dan sia-sia (tabdhir).  Sehingga, orang-orang yang menjaga sumber daya alam, membuang sampah pada tempatnya, dan melakukan kegiatan konservasi lingkungan lain pun tergolong syar’i.

Karena itu, jika enam prinsip-prinsip al-kulliyyat al-sittah or al-daruriyyat al-sittah (agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan lingkungan) sudah ada di diri kita, maka kita baru bisa diatakan syar’i (muslim sejati).

Nah, sudah seberapa syar’i kah kamu dan sudah seberapa syar’i kah orang-orang yang mengklaim dirinya berhijrah?

Penulis: Azaki Khoiruddin

Ilustrator: Ni’mal Maula