Kentut memang identik dengan sesuatu yang bau atau sampah nista yang hanya menimbulkan polusi udara. Namun ada kalanya kentut dinanti kehadirannya. Misalnya, pasien operasi yang sangat membutuhkan kentut sebagai salah satu syarat agar diperbolehkan untuk makan dan minum pasca tindakan. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, kentut perlu dikeluarkan untuk membuat perut merasa nyaman, terutama ketika merasa kembung atau masuk angin.

Analogi Kentut

Makanya tidak jarang, orang suka menganalogikan kentut dengan orang yang asal bicara, asal bunyi. Termasuk “bicara” melalui medsos. Mereka yang menulis status provokatif dan beraura negatif, bisa diibaratkan seperti sedang kentut. Aktivitas ini tidak memerlukan pikiran yang berarti. Produk yang dihasilkan pun terlihat seperti sesuatu yang tidak berguna, sampah yang tidak bermanfaat, dan dihindari orang karena efeknya memberikan keresahan dan ketidaknyaman.

Namun, jangan langsung ngomel atau unfriend dulu kalau mereka sedang “kentut”. Dijamin, kalau mereka tidak muncul di timeline kita, hidup akan terasa hampa. Gitu-gitu aja. Tidak ada yang bisa diketawain, digibahin, atau nge-tes tingkat emosi jiwa kita. Dan buat saya, mereka itu bisa dibilang orang-orang yang extraordinary. Orang-orang yang “nggak biasa”.

Hasil riset kecil-kecilan saya menjelang akhir tahun menemukan 12 kasus asbun seperti itu, selama periode Januari sampai November 2020. Artinya kalau dirata-rata, paling tidak setiap bulan ada satu orang asbun yang jadi seleb dadakan gara-gara kelakuannya sendiri.

Contohnya, IRT yang mengomentari foto Ibu Risma, Sang Walikota Surabaya, dengan sebutan kodok betina. Ada fanbase salah satu kontestan Liga Dangdut Indosiar yang mendoakan para artis dan kru terkena corona, hanya karena idolanya tersingkir dari kompetisi. Ada juga pasangan youtuber (sok) ngartis yang termehek-mehek setelah dihujat dan diancam akan dilaporkan ke pihak berwajib karena meremehkan corona.

Out of the box banget, kan. Kelakuan seperti itu tidak akan kepikiran sama orang-orang yang (mau) berpikir.

Jadi, biarkan saja mereka “kentut”. Mungkin juga mereka punya prinsip kalau “kentut” itu harus segera dikeluarkan, di mana pun mereka berada. Apalagi kalau hati mereka lagi “kembung” terisi ketidakpuasan yang menyesakkan. Mereka berharap, orang memaklumi atau bahkan men-support aktivitas tersebut, karena sadar betapa bahayanya jika ditahan terlalu lama. Harusnya mereka sudah siap dengan resiko, “kentut” yang dikeluarkan di waktu dan tempat yang salah yang bisa buat mereka dipermalukan.

Alat Deteksi

Karena itulah, tiba-tiba saya mendambakan adanya inovasi alat untuk mendeteksi kentut. Bayangkan kalau alat ini dapat memberitahu apakah kentut yang keluar bakal berbunyi, berbau, atau kombinasi keduanya? Jadi, kita sebagai pelaku kentut dipaksa untuk berpikir secara strategis, apa yang akan kita lakukan kalau kentut ini keluar dengan format yang telah diprediksi sebelumnya. Apakah ditahan saja, cepat-cepat lari menjauh dari kerumunan, atau diam dan pura-pura tidak tahu?

Saya membayangkan alat ini seperti sebuah hardisk eksternal dengan kabel USB berupa selang yang dimasukkan ke dalam salah satu anggota tubuh (you know, lah).

Selanjutnya alat akan mengidentifikasikan jenis kentut yang keluar melaui tiga buah lampu warna sebagai parameternya. Misalnya, lampu hijau akan menyala jika berpotensi bau, dan lampu kuning akan menyala jika berpotensi berbunyi. Sementara, jenis yang merupakan kombinasi keduanya akan ditandai dengan menyalanya lampu warna merah.

Saya rasa, para asbun yang “kentut” di medsos itu sangat perlu alat sejenis ini, sehingga “magang” di kantor polisi tidak perlu dimasukkan dalam daftar riwayat hidup. Bisa jadi, suatu saat platform FB, IG, atau Twitter memberlakukan sistem moderasi terlebih dahulu untuk setiap postingan pribadi di medsos.

Sekalian saja diperlakukan seperti akun grup di FB. Ada yang menyeleksi, sehingga tidak langsung bisa tayang untuk kemudian dihapus karena dianggap spam. Tentunya, hal ini bisa menjadi salah satu alat untuk menyaring keluarnya “kentut” yang tidak berguna dan bikin tidak nyaman, baik bagi pelaku, maupun kami para “penghirup aroma”.

Saya yakin, alat ini dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi pemiliknya. Ingat, kan kasus ABG yan menghina Bertrand Peto? Bayangkan kalau alat ini ada. Udah susah-susah ia mengedit foto Bertrand dengan gambar binatang, begitu tayang malah jadinya artis K-Pop. Saya rasa, kalau seperti ini sang ABG tidak usah repot-repot sowan, minta maaf, dan numpang nangis segala.

Editor: Nirwansyah