Bagaimana rasanya jika punya dosen pembimbing seorang Youtuber?

Menjadi seorang Youtuber merupakan profesi yang cukup populer saat ini. Berbagai penjuru kalangan masyarakat berbondong-bondong untuk menjadi seorang Youtuber. Entah itu menjadi profesi utama, maupun hanya sekadar profesi sampingan untuk menambah uang jajan.

Bahkan, sekelas artis yang katanya memiliki harta melimpah hingga tumpah-tumpah saja, berprofesi sebagai Youtuber. Nggak sedikit juga dari mereka yang bahkan banting setir menjadi Youtuber tulen. Siapakah itu? Mungkin kalian sudah tau.

Cukup wajar bagi saya, ketika banyak orang yang tertarik menjadi Youtuber. Pasalnya memang penghasilan menjadi seorang Youtuber cukup menjanjikan. Terlebih, siapapun dapat menjadi Youtuber, tanpa ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Begitupun dengan dosen pembimbing skripsi saya yang juga berprofesi sebagai Youtuber. Beliau sebenarnya nyambi menjadi Youtuber masih dikatakan baru, lebih tepatnya semenjak corona menimpa umat manusia.

Nampun, di sini saya bukan bertujuan untuk mendongeng mengenai latarbelakang dosen saya yang nyambi menjadi Youtuber tersebut. Melainkan di sini saya sedikit ingin berbagi cerita mengenai bagaimana suka dukanya memiliki dosen pembimbing skripsi yang merupakan seorang Youtuber.

Oke, saya akan menceritakan terlebih dahulu mengenai sukanya memiliki dosen pembimbing seorang Youtuber.

Sebenarnya, ini dapat dikatakan suka tapi bisa juga nggak dikatakan suka. Cukup relatif, tergantung sudut pandang yang melihatnya. Saya sendiri sedikit suka, tapi banyak risihnya mengenai memiliki dosen pembimbing Youtuber.

Sukanya memiliki dosen pembimbing Youtuber yakni akan dapat dipastikan auto menjadi konten Youtube-nya, selagi materinya dianggap bagus menurutnya. Entah itu suka rela atau tidak. Selaku mahasiswanya mau bisa apa lagi? Namanya juga budak akademik, ya, harus nurut saja.

Kebanyakan konten dari dosen pembimbing saya sendiri mengenai aktivitas sehari-harinya yang berhubungan dengan dunia akademik, seperti seminar, undangan menjadi pemateri, diwawancarai oleh beberapa media televisi, bahkan perkuliahan seperti bimbingan skripsi saya dengannya.

Sebenarnya nggak enak, lo, ketika sedang bimbingan skrispi online dan direkam yang tujuannya untuk dijadikan konten Youtube. Pastinya, bimbingan skripsi tersebut akan terasa kaku dan formal banget.

Begitupun yang saya rasakan di beberapa bimbingan skrispi online saya bersama dosen pembimbin saya. Meskipun sebenarnya dosen saya bertipe sedikit humoris. Namun, ketika proses bimbingan dijadikan konten Youtubenya, maka bimbingan akan terkesan membosankan, kaku, bercandanya dibuat-buat, nggak natural dan lain sebagainya yang menjenuhkan. Intinya nggak enak, lah.

Selain itu, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa channel Youtube dosen saya ini masih terbilang baru, dan konten yang baru tentunya membutuhkan partisipan yang mau menyebarluaskan konten-kontennya.

Akhirnya, para mahasiswa yang pernah diajarnya menjadi sasaran empuk untuk menjadi parisipan yang menyebarluaskan konten-konten Youtubenya. Bahkan saya hafal disetiap BC-annya yang tertulis “Like, Share, Subscribe”.

Kalau sekali dua kali untuk meminta like dan share mungkin nggak masalah. Namun, ini hampir setiap hari meminta untuk like dan share pada kontennya. Dan, itu berlangsung semenjak corona mulai tiba di Indonesia hingga tulisan ini ditulis. Ya, bayangin saja sudah berapa banyak video yang saya like dan share.

Bahkan, oleh teman-teman luar kampus saya mengira bahwa saya penggemar Youtuber dosen saya sendiri. Pasalnya, hampir setiap hari saya nge-like dan nge-share konten Youtube dosen saya yang terbaru.

Padahal saya sendiri secara pribadi nggak begitu tertarik denga nisi kontenya. Lebih tepatnya hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang budak akademik yang ingin lulus. Apalagi beliau merupakan dosen pembimbing saya. Kelulusan saya tergantung seberapa rajin saya nge-like maupun nge-share konten Youtubenya.

Jika kalian mengatakan saya merupakan seorang penjilat, maka ‘Ya’ saya mengakui itu. Seidealis-idealisnya seseorang, dia akan jatuh juga pada sistem yang membelenggunya. Saya bukan superhero yang mampu membalikkan gunung. Saya bukan Elliot dalam film Mr. Robot yang mampu melumpuhkan perekonomian dunia. Namun, setidaknya saya memiliki mimpi besar meskipun dengan jalan yang dianggap remeh banyak orang.

Editor : Hiz

Foto : Pexels