Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju masa jabatan 2019-2024 di Istana Negara. Salah satu tokoh yang cukup mencuri perhatian adalah Nadiem Makarim. Pendiri dan CEO Gojek ini akhirnya diumumkan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sekaligus menjadi menteri termuda di kabinet ini. (Kompas.com – 23/10/2019).

Saya tidak menduga, keputusan Pak Jokowi kali ini benar-benar out of the box. Sebuah Kementrian yang sangat strategis karena berkaitan dengan manusia dan kebudayaan, diserahkan kepada pendiri Gojek? Apa pertimbangannya? Karena itu, saya berinisiatif menuliskan uneg-uneg untuk Mendikbud kita yang baru ini.

Pertama, tentu saya ingin mengucapkan selamat kapada Pak Nadiem, atas amanah yang diterima dari Bapak Presiden Jokowi menjadi Mendikbud yang baru. Melihat pidato pertama bapak, Saya percaya Bapak bukan orang birokrat. Tetapi saya mengapresiasi dua hal kepada bapak. Pertama “bapak menawarkan masa depan”. Kedua, Bapak ingin belajar di bidang ini dan menjadikan belajar sebagai kata kunci pendidikan.

Bapak Nadiem yang terhormat,

Bapak pasti lebih tahu bahwa era milenial ini begitu sangat cepat. Kehidupan menjadi sangat dinamis, acak-acakan, dan tidak linear. Dampaknya era digital begitu dahsyat di pendidikan. Implikasinya, guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu. Siswa harus berubah dari pasif menjadi aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan. Dulu guru sebagai sumber pengetahuan. Kini peran guru berubah menjadi fasilitator.

Pak Nadiem yang saya hormati. Dunia perusahaan apalagi bisnis digital berbeda dengan dunia pendidikan. Karena itu Pak Nadiem, ijinkan saya menyampaikan satu hal. Menurut saya ada satu hal fundamental dan sangat penting yang tidak bisa digantikan oleh mesin digital, yaitu karakter. Karakter cinta tanah air, cinta lingkungan, hidup bersih, gotong-royong tak dapat digantikan mesin/digital.

Jadi, fungsi guru sangat penting untuk menampilkan keteladanan mulia serta budi pekerti yang luhur. Jika tidak, siswa akan menjadi manusia robot, yang memiliki kecerdasan, namun tidak memiliki hati nurani dan akal budi.

Pak Nadiem yang baik,

saya mengapresiasi Bapak yang dalam 100 hari pertama menjadi Mendikbud, akan mendengar para pakar pendidikan. Menurut saya Bapak, para pemikir dan pemangku kebijakan pendidikan harus berani melakukan perubahan secara fundamental. Bukan perubahan di wilayah permukaan kulit dan teknis semata.

Karena bagi saya, persoalan mendasar pendidikan adalah masalah tujuan yang berorientasi pasar (dunia kerja). Padahal logika pendidikan berbeda dengan logika bisnis. Pendidikan adalah persoalan akal budi manusia. Yaitu, bagaimana menumbuhkan potensi keluhuran budi manusia, sehingga memiliki karakter kuat dan mulia.

Karena itu Pak Nadiem yang terhormat, program pendidikan karakter yang telah dilakukan oleh Mendikbud sebelumnya (Pak Muhadjir) harus tetap menjadi prioritas utama. Menurut saya problem utama bangsa ini adalah masalah “karakter”. Karena untuk bisa beradaptasi pada perubahan, maka kata kuncinya adalah “karakter positif”.

Dengan karakter positif di masyarakat, seseorang akan diterima oleh siapapun dan dimanapun. Karena itu, salah satu perubahan mendasar yang penting adalah pengetahuan siswa tentang ilmu sosial dan humaniora seperti agama, filosofi, bahasa, sastra, menulis, sejarah, seni, sosiologi, dan komunikasi sangat diperlukan untuk membangun karakter bangsa yang kuat.

Pendidikan di era disrupsi dituntut bagaimana dapat mendidik manusia Indonesia yang berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking). Manusia yang peduli terhadap persoalan masyarakat seperti perubahan iklim, kelangkaan energi, kerusakan lingkungan, ketahanan pangan, kesehatan, kekerasan dll. Khususnya kebersihan, lebih-lebih korupsi.

Oleh sebab itu, pendidikan seni (art education) memiliki posisi yang sangat fundamental. Karena seni dapat mengantarkan siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mencari solusi. Pendidikan seni dapat membekali peserta didik dengan kemampuan mengolah rasa dan jiwa untuk “menumbuhkan kekuatan akal budi”.

Bapak Nadiem Makarim yang terhormat,

menurut saya orientasi pendidikan pun harus berubah. Peran pendidikan bergeser dari “mempertahankan kebenaran dan mempelajari ilmu” kepada “menciptakan nilai”.

Jadi persoalan yang dihadapi oleh pemerintah, dalam hal ini Mendikbud bukan teknis operasional. Tetapi bagaimana persoalan orientasi pendidikan yang sejati, yaitu “membangun manusia yang berkebudayaan Indonesia”. Karena sejatinya pendidikan itu persoalan kebudayaan. Budaya menolong, kerjasama, hidup bersih, cinta damai menjadi fokus utama pendidikan. Jadi sejatinya pendidikan itu persoalan karekter. Pendidikan menetak manusia yang lembut hati, bukan manusia robot yang tak punya hati. Dan bukan pula memproduksi barang untuk pasar.

Bapak Menteri Nadiem Makarim yang saya hormati, pemerintah dengan “Indonesia Maju” harus fokus pada program-program pendidikan karakter sebagaimana telah menjadi kebijakan selama ini. Membuat program-program strategis yang berorientasi masa depan. Bukan program-program teknis yang populis yang sifatnya sesaat dengan logika pasar. Membangun sumberdaya manusia membutuhkan proses panjang dan berkelanjutan. Sekali lagi, dunia pendidikan tidak sederhana dunia seperti membuat aplikasi.

Demikianlah Pak Nadiem, semoga surat ini terbaca oleh bapak, demi pendidikan untuk mewujudkan Indonesia Berkemajuan. Terima kasih.

Penulis : Azaki Khoiruddin

Ilustrator : Ni’mal Maula