Pandemi Covid-19 sudah membersamai kita selama tiga bulan. Dari masa awal, puncak-puncaknya atau anti-klimaks, sampai masa pemulihan atau rehabilitasi. Bisa dikata begitu. Saat inilah kita bersama-sama mereparasi bumi yang terlanjur lumpuh. Mengobati dan memberi sokongan serta dampak baiknya berupa aksi dan tindak kita. Yap, saat ini kita sedang menjalani new normal atau kelaziman baru. Begitu lebih akrab masyarakat mengenalnya.

Presiden Jokowi mengungkapkan status ini ada sebab Indonesia harus tetap produktif tetapi aman dari penularan Covid-19.  Kebijakan pemerintah mulai diberlakukan. Salah satunya berasal dari kesepakatan Mas Menteri Nadiem bersama rekan-rekannya. Adalah penetapan tahun ajaran baru 2020/2021 yang dimulai pada bulan Juli untuk daerah zona hijau dan kuning.

Dilema Kebijakan Sistem Belajar-Mengajar

Senang bagi sebagian orang yang kebanyakan tinggal di desa dan jauh dari pusat perkotaan apalagi ibukota. Sedih bagi sebagian lainnya yang menetap di kota-kota besar apalagi daerah Jabodetabek. Tapi sebelum berbagai perasaan muncul dari kalangan pelajar ini, bukankah lebih baik jikalau kita menarik waktu sedikit ke belakang, tentang “Tepatkah kebijakan ini?”. Melihat data yang dilansir dari covid19.go.id bahwa hingga 15 Juni, sudah ada 1.017 kasus baru positif corona dalam sehari yang menyebar di 431 kabupaten/kota.

Beberapa minggu lalu, laman berita katadata.co.id sudah menanyai perihal ini kepada Rita Pranawati selaku wakil ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Dari hasil wawancara tersebut, kalau diringkas, ternyata memberi statement bahwa Indonesia musti banyak belajar dari negara-negara lain yang telah membuka sekolah namun berdampak pada meningkatnya jumlah penderita virus dari kalangan anak-anak. Secara psikologis pun, kemampuan anak tentang cara-cara mencegah penularan masih tergolong rendah, tetapi risiko terpaparnya sama besar dengan orang dewasa. Selain melihat perkembangan kondisi corona yang belum menunjukkan benang merah, hal ini bisa menjadi satu alasan jika nantinya Kemendikbud merubah jadwal masuk sekolah lagi.

Tetapi, jika dilihat dari sisi akademik, penetapan study from home berlama-lama itu membuat kemampuan olah pikir anak kian menurun. Tidak semua orang tua mampu mengendalikan dan membagi waktunya untuk membimbing anak-anak belajar. Alhasil, di antara kita yang merasa bebas, tanpa ada guru yang mengejar tugasnya, deadline yang memburuinya, merasa perlu memanjakan diri di rumah karena alasan ‘mumpung’ dan bebas. Kita tidak akan menyadari sebelum nanti kembali ke sekolah. Antara nilainya yang menurun, daya tangkapnya yang nanti tergolong rendah, atau malah tulisan menjadi buruk rupa, tidak bisa dibaca, dan tidak rapi seperti biasanya.

 Terkesan menyedihkan memang, apalagi ditambah hawa-hawa postingan sosial media yang dimiliki remaja, menandai kalau kita rindu sekolah, teman, guru, dan suasana belajar. Pertanyaan murid kepada guru tentang ‘kapan masuk sekolah’ saja sudah mengindikasikan dirinya yang tidak betah di rumah. Tetapi, apa boleh jadi, yang namanya musibah bersama memang harus ditindak bersama juga, kawan.

New Normal di Tahun Ajaran Baru

Akan menjadi tepat kebijakan ini, jika skenario new normal dilakukan oleh segala lapis masyarakat. Satu di antara sekian skenarionya yang mengatakan bahwa masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal itu yang relevan kita sebagai pelajar lakukan. Saat ini dalam kehidupan new normal dan nantinya saat masuk sekolah, kita harus banyak aksi memberi suara dan masukan kepada berbagai pihak yang memiliki kewenangan besar untuk mengatur.

Selain langkah pencegahan yang bisa dilakukan dengan jarak fisik, mencuci tangan, dan memakai masker untuk kebersihan pernapasan, kita sebagai pelajar tentu harus terlibat dan proaktif terhadap kebijakan pemerintah. Paling tidak jika Juli nantinya masuk sekolah, kita harus gercep lapor tentang teman yang terlihat tanda-tanda tertular virus ini. Dan terpenting menegaskan kepada teman yang seolah abai terhadap protokol kesehatan. Aksi yang bisa menjadi simbol kepedulian bersama ini bisa menjadi satu alasan turunnya grafik korban Covid-19 di Indonesia. Jadi, tepatnya kebijakan ini bergantung terhadap sikap kita sebagai subjek utama soal pendidikan. Ingat, dimanapun kita berada, tindak tanduk kita sangat berpengaruh besar, kawan!