Menurut Muhammad Husain Haekal, sebagaimana tertuang dalam karyanya berjudul “Hayat Muhammad”, setelah momen Baiat Aqabah II, Nabi Saw. menyuruh sahabat atau umat muslim untuk pergi hijrah ke Yastrib (Madinah). Ini merupakan momen hijrah umat muslim yang ke-3, setelah sebelumnya sudah dua kali hijrah ke Habsyi. Hijrah kali ini pun dilakukan secara terpisah, berangkat secara mandiri agar tak membuat kaum Quraisy panik.

“Maka, kaum muslim mulai berhijrah sendiri-sendiri, atau dalam kelompok-kelompok kecil. Namun, kaum Quraisy segera mengetahui gerakan itu dan mereka segera bertindak untuk mengembalikan orang yang masih bisa dikembalikan ke Mekah. Lalu, mereka dibujuk agar kembali kepada kepercayaan lama. Jika tak mau, mereka akan disiksa dan dianiaya.”

Rintangan Sahabat Nabi dalam Melakukan Hijrah

Hal tersebut tentunya membuat para pemuka kaum Quraisy menjadi panik. Barang tentu, mereka akan menghalang-halangi rencana hijrah umat muslim ke Yastrib. Apalagi, salah seorang pemuka Quraisy tambah kacau hati-pikirannya, sebab melihat sudah banyak rumah-rumah kosong akibat ditinggal umat muslim yang sudah hijrah ke Madinah.

Mereka pun semakin gencar menghalangi hijrahnya umat muslim. Tak segan-segan, bahkan bisa sampai menyiksa umat muslim yang tetap ngotot untuk berhijrah.

Namun, bukan iman para sahabat namanya kalau sampai terkesan dan urung saat melihat rintangan dalam mendakwahkan Islam. Mereka adalah muslim dengan iman yang kokoh. Iman yang tak akan urung melihat rintangan dan ancaman yang sedemikian rupa. Sehingga, umat muslim kala itu tetap terus melakukan hijrah ke Yastrib.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hamka dalam karyanya “Dari Hati ke Hati” terkait hijrah tersebut, yakni “Orang-orang yang berhijrah itu bukanlah hijrah karena kesempitan hidup di Mekah, hampir semuanya mempunyai rumah tangga kampung halaman (hidup layak), hampir semuanya orang berada…”.  Mereka meninggalkan Mekah karena di sana tidak ada kebebasan hidup untuk menuruti apa yang sesuai dengan aqidah. Mereka tinggalkan kampung halaman, harta benda, dan orang-orang yang mereka cintai. Mereka berhijrah karena di tempat kediaman yang baru mereka akan bebas meniggikan kalimat Allah”.

Imam Muslim meriwayatkan sabda Nabi Muhammad saw, “Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan akan dibalas sesuai apa yang diniatkan. Siapa yang niat hijrahnya karena Allah dan Rasul, maka hijrah itu akan menyampaikannya pada Allah dan Rasul…”

Tekad Sahabat Nabi dalam Melakukan Hijrah

Dalam karya yang sama, Buya Hamka menggambarkan tekad 3 orang sahabat Nabi dalam melakukan hijrah ke Madinah, di antaranya:

Pertama, Shuhaib r.a. Ia merupakan seorang sahabat Nabi yang amat kaya raya. Saat Shuhaib hendak pergi berhijrah, orang-orang Quraisy mencemoohnya, “Telah kaya engkau sekarang. Setelah engkau mengumpulkan kekayaan di negeri kami, sekarang engkau hendak pindah, sombongnya engkau”.

Mendengar cemoohan itu, Shuhaib malah berkata, “Jika seluruh harta ini aku tinggalkan untuk kalian bagi-bagi, apakah kalian masih akan mengomel juga jika aku hijrah?”

Ah, jelaslah apa jawaban orang-orang Quraisy, kan: tidak akan mengganggu.

Shuhaib pun berkata, “Ambillah harta bendaku itu semuanya, biarkan badan tunggalku saja yang keluar, tetapi aku hijrah jangan halangi.”

Harta benda tak merenggut kemerdekaan akidah Shuhaib. Sehingga, dia pun memilih melepaskan harta benda daripada harus terpenjara dengan harta bendanya. Semua ini Shuhaib lakukan semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, Mush’ab bin Umair r.a. Anak manja plus hidup mewah bergelimpangan harta. Konon, sandalnya saja dihiasi emas. Wadidau, kaya betul.

Namun, kekayaan dan kemewahan hidup tak membuat dirinya terpenjara dunia. Jubah mewah ditanggalkannya, sandal berlapis emas dilepaskannya, kehidupan mewah di Mekah ditinggalkannya. Semua itu semata-mata demi hijrah ke Madinah dan untuk meraih ridha Allah dan Rasul-Nya.

Mush’ab termasuk orang yang hijrah paling awal, sebab dirinya termasuk sahabat yang diangkat Nabi menjadi guru pertama untuk menyebarkan Islam di Yastrib. Dia pun sukses mengemban amanah tersebut.

Di Madinah, dia hidup miskin. Namun, tak sedikit pun ia menyesali keputusannya untuk meninggalkan hidup glamornya di Mekah.

Di momen Uhud, dirinya termasuk sahabat yang syahid. Betapa mengharukan, saat akan dikafani, ternyata kain kafannya terlalu pendek. Sehingga kalau ditutup wajahnya, kakinya tak tertutup. Kalau ditutup kakinya, wajahnya tak tertutup.

***

Buya Hamka menjelaskan, “Rasulullah menggeleng terharu melihat jenazah pemuda itu, seorang yang begitu manja dan kaya di zaman jahiliyyah, tetapi akidah membawanya berjuang dan berkurban, dan ia ridha menerima nasib dan bangga dengan imannya. Ketika kain penutup tidak dapat menutupi seluruh badan (Mush’ab), Rasulullah menyuruh tutup saja kepalanya, dan kakinya yang terbuka supaya ditutup saja dengan rumput”.

Jundab bin Dumrah

Terakhit, Jundab bin Dumrah al-Jundu’i r.a. Seorang yang sudah amat tua dan sakit-sakitan, sehingga dia pun diizinkan oleh Nabi untuk tetap tinggal di Mekah. Awalnya, dirinya menerima keringanan tersebut. Namun, saat dirinya tak lagi bisa memandang wajah Nabi Saw. tak lagi mendengar suara Nabi, betapa rindunya ia terhadap Nabi. Oleh karena itu, ia pun merasa kesepian di Mekah, lantas juga ingin pergi hijrah ke Madinah.

Berkata Jundab pada anaknya, “Anak-anakku, harta bendaku masih ada untuk belanja perjalananku, bawa aku, usung aku, angkat aku. Aku ingin menuruti Nabi kita ke Madinah, aku ingin sehidup semati dengan beliau”.

Jundab kemudian mengangkat tangannya, “Allaahumma, Ya Tuhanku, Engkau telah memberi uzur kepadaku, aku boleh tinggal di sini, tetapi aku tidak tahan, aku mesti pergi…”

Anak-anaknya pun membawanya. Namun, sebab dirinya sudah amat tua dan sakit-sakitan, di tengah perjalanan dia sudah tak tahan lagi. Menjelang kematian dirinya, dia angkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, tangan kananku berbaiat untuk Engkau, dan tangan kiriku untuk utusan-Mu, apa pun yang dibaiatkan oleh Rasul-Mu kepada Engkau Ya Allah, aku pun ikut serta dalam itu…” Di saat momen itulah, Jundab meninggal.

Dia pun dimakamkan di tempat itu, dan anak-anaknya melanjutkan perjalanan ke Yastrib (Madinah). Peristiwa Jundab bin Dumrah al-Jundu’i inilah yang menjadi asbab an-nuzul dari Surah an-Nisa ayat 100:

Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Betapa para sahabat Nabi memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Tak hanya kisah 3 sahabat ini yang menggambarkan betapa kuat tekad mereka untuk hijrah bersama Nabi. Tentu, masih banyak lagi kisah lainnya.