Sebelum membahas teladan Raja Daud dan Sulaiman, aku mau menyemangati para pembaca. Semangat ya, kita semua di tengah-tengah corona. Segala kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari dan rencana yang sudah kita susun secara rapi seolah hangus semua terbakar oleh api. Sehari-hari aktivitas jadi cuma #dirumahaja dan ketemunya cuma sama itu-itu aja.

Orang rumah, atau yang hangat kita sapa sebagai keluarga, adalah yang paling sering berinteraksi dengan kita selama karantina. Seneng nggak sih temen-temen? Jujur aja, udah. Banyak ramenya kan? Hehehe, oke tos kita samaan!

Beberapa hari lalu, aku bersyukur banget bisa ikut salah satu diskusi yang diadakan oleh teman-teman Rifka Annisa, sebuah organisasi pendampingan perempuan.

Kami para peserta diingatkan untuk berkomunikasi secara terbuka dan tetap santuy dengan para anggota keluarga, biar selama di rumah aja nggak merasa terbebani dan bisa menikmati. Mereka menyebut pola komunikasi ini sebagai komunikasi asertif.

Teladan Raja Daud dan Sulaiman

Alih-alih langsung membahas soal isi diskusinya, di sini aku ingin berbagi sebuah kisah yang tiba-tiba terlintas di benak habis menyimak materi dari Rifka Annisa kemarin. Kisah ini tentang seorang ayah dan anaknya, juga sekaligus seorang raja dan rakyatnya.

Betul sekali, seperti judulnya, inilah kisah mengenai Raja Daud as dan Sulaiman as. Pasti akrab dong dengan dua nabi ini? Seperti yang kita tahu, Raja Daud adalah ayah Sulaiman.

Sebagaimana seorang pemimpin yang selalu dihadapkan dengan permasalahan rakyat, hari itu Raja Daud kedatangan dua orang tamu yang ingin melaporkan masalahnya. Yang satu ialah seorang pemilik kebun, sedangkan satunya ialah peternak kambing.

Si pemilik kebun setelah diperkenankan akhirnya menyampaikan keluhannya, “Yang Mulia Raja, semalam telah terjadi bencana. Kebun yang saya miliki hancur semua akibat dimasuki oleh kambing-kambing milik saudara saya ini. Kami mohon keputusan yang adil, Yang Mulia.”

Setelah menimbang-nimbang, demi mengganti kerugian si pemilik kebun, Raja Daud memutuskan bahwa kambing-kambing tersebut harus diberikan seluruhnya kepada si pemilik kebun. Habis diputuskan seperti itu, rupanya Sulaiman izin masuk ke dalam bahasan, “Mohon maaf, Yang Mulia Raja. Sepertinya ada cara lain dalam menyelesaikan perkara ini.”

Lantas Raja Daud meminta Sulaiman menyampaikan pendapatnya. Kata Sulaiman,

“Bila saya boleh mengusulkan, ada baiknya memang kambing-kambing tersebut diserahkan kepada si pemilik kebun. Tapi, tidak untuk selamanya. Sembari pemilik kebun memanfaatkan tenaga dan kelebihan kambing-kambing itu, si peternak kambing juga diminta untuk memperbaiki kebun yang telah rusak. Hingga nanti setelah kebun sudah kembali baik dan bisa dipanen seperti biasa, barulah kambing-kambing itu dikembalikan kepada si peternak. Sehingga keduanya bisa kembali bekerja seperti sedia kala.”

Menilai bila ide itu lebih baik, tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu, “…ayahnya pun berlapang hati menerima usul putranya,” seperti diterangkan Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (Juz 17, hal 82). Akhirnya keputusan pun diubah.

Ayah dan Anak, Raja dan Rakyat

Bagiku, cerita tadi bisa menjadi sebuah teladan bagi kita dalam berkomunikasi supaya tetap terbuka dan santuy. Dalam bahasanya Rifka Annisa, berkomunikasi asertif.

Sosok Sulaiman yang meskipun masih muda tapi begitu berani dan percaya diri menyampaikan pendapatnya patut diacungi jempol. Berbeda pendapat itu bukan masalah, berapa kali lagi kita harus dinasehati soal ini? Meskipun orang yang berseberangan dengan kita secara status lebih tinggi, bukan berarti mustahil bagi kita memberi usulan kepadanya.

Di masa pandemi seperti ini, kita mungkin tidak bisa menghindari beda pendapat atau cekcok dengan anggota keluarga lainnya. Dua puluh empat jam bertemu dan berinteraksi sudah cukup jadi peluang timbulnya gesekan-gesekan tak terhindarkan.

Ayah atau ibu minta tolong dibantu melakukan pekerjaan rumah, tapi kepala kita masih isinya deadline UAS yang sama sekali belum tersentuh. Adik minta tolong diajarin nyalain laptop buat ngumpulin tugas sekolah padahal kita lagi mengurusi cucian. Huuh, mbok tolong dong ngerti kalian semua!

Sabar, sabar, bos! Sampaikan aja pelan-pelan. Hehehe, kembali ke kisah Raja Daud dan Sulaiman, berani aja menyampaikan secara selow keadaan atau pendapat kita. Tidak salah membagikan apa yang ada di dalam benak, tetapi perlu dicatat dan diingat—mengutip pembicara dalam diskusi Rifka Annisa kemarin—tentu dengan ‘cara yang bertanggung jawab dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain’.

Hal-hal baik kalau penyampaiannya kurang baik, khawatirnya nggak sesuai sama hasil yang diharapkan.

Di samping itu, hal lain yang juga bisa menjadi pelajaran yaitu keterbukaan Raja Daud sebagai seorang ayah dan raja yang tetap mau mendengarkan usulan orang lain. Bahkan, meskipun itu datang dari anak atau rakyatnya, yang jelas lebih muda dan statusnya di bawah beliau. Tidak gengsi Raja Daud kemudian mengubah keputusannya sendiri karena menilai usulan yang lain ternyata lebih baik.

***

Selain berani mengutarakan pendapat, kuy kita pastikan untuk membuka telinga kepada saudara dan keluarga. Jangan-jangan waktu diajak cerita, mata kita malah lebih banyak di layar hape. Waktu ditanya, kita malah balik nanya, “Eh, apa? Apa tadi?” Huhu, kasihan kan diabaikan.

Yak, sebagai penutup, tetap semangat ya. Mari mencipta suasana bahagia di rumah, mulai dari diri kita sendiri! Salam untuk keluarga di rumah…dari…dari siapa ya? Hihihi.

Editor: Ulin