Hitler meninggal di Garut, Coronavirus buatan Bill Gates, bumi itu datar sampai Bunda Maia Estiyanti menceraikan Ahmad Dhani karena Ahmad Dani yang ‘sekarang’ adalah Ahmad Dhani palsu terbukti dari perubahan letak tahi lalatnya (tentu saja cuman Bunda Maia yang paham).

Kalau kamu merasa familiar dengan kalimat-kalimat barusan, selamat! Artinya kehidupan kalian enggak jauh-jauh dari yang namanya teori konspirasi. Kecuali kalau kamu lebih paham konspirasi elit global masuk Ciraos. Ya, walaupun penulis nggak akan menampik fakta kalau membedah teori-teori konspirasi itu sebuah kegiatan yang lowkey mengasyikan dan bikin candu.

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konspirasi memiliki arti persekongkolan atau komplotan orang dalam merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan rapi dan sangat dirahasiakan.

Masalah utamanya begini, bagaimana jika teori-teori itu kemudian menyangkut hajat hidup masyarakat dan punya konsekuensi fatal kalau masyarakat percaya? Terlebih lagi kita sedang berada di kondisi yang riskan konspirasi baik dari orang biasa hingga public figure juga enggak luput dari teori ini.

Nah, karena keadaan yang seperti inilah kita harus berhati-hati betul dalam mengolah dan menyaring informasi terutama yang kita dan keluarga konsumsi setiap detiknya, terlebih lagi di masa serba cepat begini.

Mengapa percaya teori konspirasi?

Keinginan dari kepastian. Secara alamiah, manusia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik ketidakpastian hidup ini. Dorongan inilah yang memberi manusia kekuatan untuk mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Jawabannya tidak harus selalu benar yang penting dapat menghibur dan sesuai dengan apa yang mereka mau.

Apa cuma itu saja? Tentu aja enggak. Dilansir dari Narasi.tv yang mengutip dari buku The Pyschology of Conspiracy Theories (Douglas, et al., 2017) setidaknya ada tiga motif yang membuat masyarakat tetap percaya dengan teori konspirasi.

Pertama, seperti yang penulis sebutkan di atas, kebutuhan akan pemahaman yang konsisten. Terutama jika kita dihadapkan pada suatu fakta dengan informasi terbatas.

Kedua, kebutuhan akan rasa aman seorang individu. Saat kita merasa cemas, kita berusaha mencari penjelasan yang merasionalisasi pengalaman yang kita rasakan. Komponen inilah yang membuat penganut konspirasi merasa lebih aman karena mempunyai kuasa atas kejadian tidak terduga lebih dulu daripada masyarakat awam. Seperti wah aku sudah tahu bahwa Bill Gates dalang di balik virus Covid-19.

Terakhir adalah motif sosial. Dimana orang butuh untuk menjaga citra baiknya baik pribadi maupun kelompok. Orang yang merasa kelompoknya akan terancam cenderung mempercayai teori konspirasi.

Terlebih lagi kita mengakses informasi di media sosial, kita akan dihadapkan pada algoritma yang kita sukai dimana makin membuat penganut teori konspirasi akan hidup dalam ‘gelembung’ informasi konspirasi saja. Hal itu juga membuat penganut teori konspirasi percaya bahwa apa yang diluar dirinya dan kelompok merupakan bagian dari teori konspirasi.

Bagaimana cara mengatasinya?

Agar tidak menjadi korban, yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak informasi dari berbagai prespektif atas setiap informasi yang kita terima. Tentunya jangan buru-buru membalik meja karena tidak semua pendapat akan membuat kamu merasa senang.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah berhenti sebentar dari media sosial. Hal itu bisa membuat diri kita merasa rileks dan enggak perlu terus menerus ketakutan mencari jawaban atas apa yang terjadi di hidup ini. Akhirnya memang, teori konspirasi enggak akan ada habisnya meski siapa tahu teori-teori yang kamu yakini kelak bisa dibuktikan kebenarannya walaupun hasilnya enggak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Seringkali kita ingin merasa nyaman, bukannya benar. Mantap.