Sore itu seorang bocah disuapi oleh Ibunya. Sambil berkata “Yuk isi bensin dulu…” sang anak pun menghampiri suapan terakhirnya dengan mengendarai sepeda. Sebelum sang ibu masuk ke rumah, ia mampir ke rumah tetangga. Memulai obrolan basa-basi khas Ibu-ibu perumahan. Lalu berlanjut pamitan, karena melihat sang suami sudah pulang dari bekerja.

Sekilas, tidak ada yang istimewa dari sefragmen narasi di atas. Terkesan biasa-biasa saja, dan menggambarkan sesuatu yang lazim kita temui dalam kehidupan sehari-hari (tanpa melihat latar belakang tambahannya). Namun, bisakah sepenggal cerita tadi membuat orang tersinggung?

Mungkin saja. Sebab dari perkiraan saya setidaknya ada lima atau enam hal yang bisa jadi menyinggung perasaan orang lain, atau dalam istilah berbeda, menimbulkan perasaan tidak nyaman pada orang lain.

Tersinggung

Tersinggung adalah perasaan yang alamiah, ya seperti perasaan jatuh hati. Muncul sebagai respons atau tanggapan atas sesuatu (reaksi), pun dapat menjadi pemicu tindakan (aksi) yang baru. Yang jelas, perasaan tersinggung itu tak enak, mengganjal, bahkan sampai mendistraksi dan mengganggu.

Dan entah, apakah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, orang-orang yang ‘tersinggungan’ semakin hari semakin bertambah banyak. Terlampau sensitif, kaku dan kehilangan keluwesan sosial.

Makin banyak yang gampang tersinggung, makin banyak pula yang lelah, ya karena emosinya terkuras. Masyarakat kita menjadi masyarakat yang gampang tersinggung, masyarakat yang lelah secara emosional. Bangsa kita menjadi bangsa yang gampang tersinggung, bangsa yang lelah secara emosional. Pemerintah kita pun menjadi komunitas yang gampang tersinggung, komunitas yang lelah secara emosional. Pada akhirnya, kita saling membuat tersinggung satu sama lain, saling membalas, saling mengalahkan.

Walaupun sejatinya, kita tak akan bisa tersinggung dan merasa terganggu, bila kita tidak mempersilakan orang lain membuat kita tersinggung. Apa pun itu topiknya, apa pun itu perbuatannya. It takes two to tango, biarlah dia melemparkan ayunan tak bersambut dan menari sendirian di sana.

***

Selama ini kita terbiasa fokus pada ketersinggungannya saja. Terlalu nyaman untuk mengikuti dramanya; sibuk mencari siapa yang melakukannya, ingin tahu apa yang dilakukan/ disampaikannya, dan mencari bagaimana cara kita membalasnya. Kita cenderung “senang” jika ketersinggungan tersebut menjadi ramai, karena kita beranggapan kondisi itu bisa mengamplifikasi efek balasan yang kita lancarkan. Iya kalau berhasil. Lha kalau malah sebaliknya?

Kita kerap abai dengan “apa yang dilakukan/ disampaikannya, dan mengapa aku jadi tersinggung” yang justru bisa membuat kita menang tanpa berperang. Karena, perasaan tersinggung yang muncul akibat kesalahpahaman, kekeliruan tanpa disengaja, perbedaan adat dan budaya, maupun faktor-faktor sejenis semestinya mampu diatasi dengan lebih bijaksana. Apalagi jika muncul akibat omong kosong, dusta, hinaan tak berdasar, dan pikiran yang tak terdidik, lebih baik beri respons seperlunya lalu tinggalkan.

Manakala sebuah ucapan sedemikian menyinggung dan tak bisa dibendung lagi, di saat itulah kita mencermati “apa yang mereka lakukan/ sampaikan, dan mengapa itu membuatku tersinggung”.

Rasa yang Harus Dikubur Dalem-dalem

Sejauh ini, ada beberapa hal yang lazim membuat orang tersinggung, dan semuanya berawal dari perbedaan. Mulai dari perbedaan pendapat, perbedaan perlakuan, perbedaan antara memosisikan diri sendiri dan penilaian orang lain, perbedaan latar belakang yang didorong oleh stigma, asumsi, dan stereotip –termasuk gaya individu, kebiasaan, strata sosial, ekonomi, dan aspek SARA– perbedaan cara memahami dan semuanya yang dimulai dari ketidaksamaan.

Segala macam perbedaan di atas seyogianya bisa dilihat dan disikapi secara bijak. Tak semua hal yang berisik itu penting untuk diteruskan dan dibiarkan bergulir. Dihentikan bukan dengan dilawan, melainkan dengan dibiarkan berlalu begitu saja.

Lagipula, tidak semua hal harus dilawan, kok. Tidak semuanya harus bikin kita terlihat pintar dan hebat. Dengan memutuskan tidak tersinggung atas ucapan atau perbuatan orang lain, kita seolah-olah terlihat bodoh dan tak responsif. Padahal ibarat bertemu setumpuk tahi kucing di jalan, alih-alih menginjaknya, kita agak menepi dan menghindari, lalu meneruskan perjalanan.

“Ya tapi kan itu membahayakan orang lain…“

Ya sudah. Pastikan saja kamu mampu dan punya semua perangkat yang diperlukan untuk membersihkan tumpukan tahi tadi. Bukan malah marah-marah, dan justru melemparkannya ke orang lain. Bisa-bisa kamu dibalas lemparan, lalu jadilah saling lempar tahi. Semua bau, semua berantakan.

Udah deh. Masih banyak masalah yang jauh lebih penting di dunia ini dibanding harus memberi perhatian lebih akan rasa tersinggung yang kita rasakan. Bukan begitu?

Penulis: Nadhifah Azhar

Penyunting: Aunillah Ahmad