Yogyakarta, 21 April 2020 – Selalu ada Kartini di setiap diskursus perempuan. Kartini satu di antara sedikit perempuan Indonesia yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Lahir dari keluarga ningrat tapi tidak membuat ia termanjakan. Buah pikirnya selalu haus akan ilmu pengetahuan dan selalu gelisah melihat penindasan juga isu-isu kemanusiaan. Sejak kecil, sosoknya sudah berbeda karena dia bergerak gesit dan keras melawan tradisi, menentang kebodohan, masa dimana perempuan tidak diberi hak secara konstitusional setara sekarang.

Sedemikian maju dari zamannya, meski tak sedikit pro-kontra di masyarakat tentang Kartini yang layak dijuluki Pahlawan atau tidak, benar pejuang perempuan atau sekedar gadis dari suara kaum bangsawan. Tombak perjuangannya mencerdaskan bangsa adalah dengan pena, dan ini seringkali diremehkan. Tidak mungkin perempuan yang harusnya di belakang, bisa memiliki kemampuan untuk melawan. Nyatanya, Kartini muda mendobrak limit, kisahnya selalu menarik untuk dibedah sebagai warisan keilmuan fondasi “Gender Equality.”

Berkaca dari sejarah, eksistensi perjuangan Kartini adalah nilai, ia terkristalisasi dalam gagasan-gagasannya yang kini nyaring terdengar di setiap penjuru negeri. Bagaimana menjadi “Kartini Masa Kini” adalah dengan menjalani setiap perjuangan perempuan dengan cara, metode dan strategi masing-masing. Tempuh itu dengan berbagai jalan, pendidikan formal, informal atau non-formal.

Dalam tulisan ini, turut penghormatan saya suguhkan kepada setiap perempuan dalam rangka memperingati Hari Kartini, ibu gender-equality Indonesia. Untuk Kartini Pasar, Kartini Pekerja Lepas Harian, Kartini Kantor Perusahaan, Kartini Pendidik Anak-Anak Indonesia, Kartini dalam setiap wilayah perjuangannya masing-masing.

 

“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” – RA Kartini

 

Surat untuk Ibu Kita Kartini

Jika sepucuk surat bisa membuatmu bergelar pahlawan, maka menulislah Bu. Tuliskan tentang penderitaan setiap ibu rumah tangga yang disengsarakan janji-janji busuk para penguasa. Mereka yang menyatakan memakmurkan masyarakat, tapi justru jadi penghianat. Menjadi peliharaan partai politik, meski sudah terpilih sebagai wakil rakyat. Membuat kebijakan tarif dasar listrik naik, membuat kehidupan penghasil kerja lepas harian kian tercekik.

Serbuan tenaga kerja asing menggurita, sebab lumbung-lumbung perusahaan telah dikuasai investor dari negara mereka. Lalu tak sedikit anak bangsa mau tidak mau memburuh ke luar negeri daripada mati kelaparan di negeri sendiri. Jadi pengen diskusi sama Mas Belva perihal kondisi NKRI yang semakin sulit. Sebagai sesama pemuda progresif yang kemaren kabarnya bawa perusahaan sendiri dalam proyek pemerintahan, deh.

Jika sepucuk surat bisa membuatmu jadi pahlawan, maka menulislah Bu. Ceritakan tentang kelucuan negeri kita, yang belum sehari menang pilkada tapi lawan politik yang kalah sudah menagih janji kampanye hingga mulut berbusa. Padahal janji potong telinga jika calon yang diusung kalah dilupakan begitu saja, tapi kelakuan melebihi seorang jaksa sedangkan faktanya patut jadi tersangka. Berkabar juga kepada para penuntut itu, kalau saat ini hingga tujuh bulan ke depan jagoannya yang kalah kemarin masih berstatus sebagai penguasa yang harus melaksanakan janji-janjinya yang tertunda.

Jika sepucuk surat bisa membuatmu jadi pahlawan, maka menulislah Bu. Menulislah tentang para wayang di gedung dewan yang sedang dimainkan dalan. Ialah pendiri partai politik beserta ketua umum akibat takut jabatannya di senayan dicopot sewaktu-waktu padahal belum sempat memulangkan modal saat kampanye.

Tapi satu pesanku, Bu. Jangan kirimkan suratmu kepada noni-noni di negeri Belanda. Jangan sampai surat-suratmu yang ada pada mereka kemudian disumbangkan ke negara kita, hingga mengesankan gelar pahlawanmu bertiup dari kincir angin mereka. Sebab, sesulit-sulitnya kita perempuan indonesia tetap tidak sudi diberi gelar pahlawan dari bangsa penjajah yang ratusan tahun membuat rakyat Indonesia menderita.

Masih hangat di ingatan perihal perjuangan perempuan lainnya, tak lain Sembilan petani perempuan yang kerap disebut Kartini pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Adalah mereka emak-emak progresif menggelar aksi protes dengan mengecor kaki mereka dengan semen, di seberang Istana Negara Empat tahun lalu.

 

Bu, Selamat Hari Kartini.

Ialah ibu perempuan dalam lintasan waktu yang tidak termakan zaman.

 

Penulis: Sena Putri Safitri