Kedigdayaan Juventus terus berlanjut. Juventus menjadi kampiun Liga Italia musim 2019/2020. Si Nyonya Tua sudah mengunci Scudetto ke-36 sejak menang dua gol tanpa balas lawan Sampdoria pada pekan ke-36 lalu.

Sebelum liga dihentikan karena Pandemi Covid-19 Maret lalu Juventus (63) hanya terpaut selisih 1 poin dengan Lazio (63). Sampai di akhir musim Serie A, Juventus (83) tetap berada di pucak klasmen dengan selisih satu point dari Inter Milan (82). Inter Milan, Lazio, dan Atalanta gagal memaksimalkan badai inkonsistensi yang dialami Juventus di akhir musim.

Hastag #STRON9ER bergema sebagai simbol raihan Scudetto ke-9 dan semakin mengokohkan kedigdayaan Juventus di Italia. Coba bayangkan 9 gelar secara beruntun dalam 9 tahun terakhir adalah hal yang gila. Ke mana saja klub klub dengan sejarah dan legenda besar seperti AC Milan, Inter Milan, AS Roma, Lazio, Napoli hingga Fiorentina?

Satu pertanyaan penting yang selalu muncul adalah apakah Juventus yang terlalu kuat atau klub lain yang lemah dan tidak konsisten dalam kompetisi serie A? Biarkan rumput Giuseppe Meazza yang menjawab.

Jauh Sebelum Kedigdayaan Juventus

Sebagaian besar anak 90-an tidak terkecuali saya pasti mengidolakan nama besar seperti Del Piero, Gabriel Batistuta, Filipo Inzaghi, Christian Vieri, Fransesco Totti, Edgar Davids, Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron, Shevchenko hingga Ronaldo. Dua nama yang paling saya kagumi adalah Gianluigi Buffon dan anak muda Jepang Hidetoshi Nakata dari Parma FC.

Kegemaran saya kepada sepakbola dipengaruhi kakak perempuan pertama yang seorang Laziale, setiap akhir dan awal pekan ikut nimbrung nonton liga Italia, apalagi setiap minggu dirumah langganan majalah Soccer yang hari ini sudah tutup usia. Sebelum era medsos, televisi dan tabloid seperti Soccer, BOLA, Liga Italia, SPORTIF turut membawa virus Serie A menyebar hingga pelosok negeri.

Parma, Buffon, dan Nakata adalah pelabuhan cinta pertama saya pada sepakbola dan serie A. Pada tahun 2001 Buffon pindah ke Juventus kemudian menyusul Nakata pindah ke Bologna, saat itulah menjadi awal kisah saya menjadi seorang Juventini.

Pernah pada suatu hari Juventus kalah telak dan keesokan harinya saya malas sekolah karena kecewa. Persis seperti fans hari ini yang lesu seharian bahkan seperti putus cinta karena tim kesayangannya kalah. Era keemasan Liga Italia di era 90-an menyisakan banyak cerita. Sepertinya hanya generasi yang besar di masa-masa tersebut yang paham.

Masa Keemasan Liga Italia

Sebelum kejayaan Liga Primer Inggris, LaLiga Spanyol bahkan Bundesliga Jerman, negeri pizza adalah rumah bagi perubahan zaman menuju sepakbola modern, negeri pizza juga pernah ditahbiskan sebagai kiblat sepakbola dunia. Para pemain muda berbakat berlomba-lomba merumput bersama Il sette magnifico atau Seven magnificents (tujuh kekuatan yang luar biasa, merujuk pada tujuh tim terkuat). Antara lain Juventus, AC Milan, Inter Milan, AS Roma, SS Lazio, Fiorentina, dan Parma.

Berkat banyaknya pemain bintang, beberapa klub Serie A mendominasi ajang Liga Champions Eropa. Statistik menunjukkan sejak periode 1989-2007 (18 tahun), klub Italia mencapai fase final sebanyak 11 kali. Dominasi AC Milan (7 Piala UCL) yang menjadikannya klub Italia yang paling banyak mengangkat trofi “kuping Besar” Liga Champions Eropa.

Saat itu klub papan atas Eropa seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Bayern Munchen juga memiliki banyak pemain bintang tapi tidak sementereng klub Serie A.

Ukuran popularitas saat itu antara lain tayangan pertandingan Liga Italia memenuhi saluran TV Nasional. Selain itu stiker, souvenir, poster hingga kostum klub seperti Perugia, Chievo, Verona, Brescia, Udinese yang notabene klub papan tengah membanjiri pasar-pasar di Indonesia. Belum lagi klub papan atas.

Calciopoli, Akhir Era Duo Milan, dan Kebangkitan Juventus

Mendung hitam pekat menyelimuti langit Italia Mei 2006. Federasi Sepakbola Italia (FIGC) berkolaborasi dengan mantan hakim ternama Italia Franco Borrelli membongkar kasus pengaturan skor yang menjadi skandal sepakbola terbesar di Italia. Media menyebutnya sebagai Calciopoli atau Moggiopoli. Luciano Moggi, Direktur Umum Juventus, menjadi dalang utama di balik itu semua dan akhirnya diputuskan bersalah. Tim lain yang terseret kasus ini adalah AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina.

Juventus sebagai klub yang disegani dan dihormati di Eropa bahkan dunia jatuh ke dalam jurang paling gelap. Setelah berlaga di Serie A selama 109 tahun, Juventus terlempar ke kasta kedua (Serie B). Tak hanya itu, hukuman juga disertai pengurangan 9 poin, menerima denda dan tidak berhak mengikuti Liga Champions Eropa 2006/2007, serta gelar Serie A musim 2004/2005-2005/2006 dilucuti. Sedangkan, empat klub lain yang disebutkan di awal hanya menerima pengurangan poin.

Juventus ditinggal para pemain bintangnya. Menyisakan Buffon, Del Piero, Nedved, Chiellini, Trezeguet, dan Camoranesi yang ikut turun kasta, dengan Didier Deschamps jadi pelatihnya. Lalu gelar Scudeto 2005/2006 diberikan kepada Inter Milan sebagai runner up, setelahnya sepakbola Italia rasanya jadi milik Nerazzurri.

AC Milan, Lazio, dan Fiorentia dihukum pengurangan poin dan terpuruk di musim-musim berikutnya. AC Milan sebagai raksasa Eropa sejak memenangi Liga Champions tahun 2007 terpuruk di Italia, bahkan kerepotan untuk sekedar masuk zona Liga Champions. Dominasi Inter berlanjut dan mencapai puncaknya pada 2009/2010 di bawah tangan dingin Jose Mourinho dengan meraih treble winner: Scudetto, Coppa Italia, dan Liga Champions.

Ternyata tahun 2010 menjadi puncak sekaligus penanda berakhirnya era Inter Milan. Karena di tahun-tahun berikutnya Juventus tak terbendung hingga meraih scudeto 9 kali beruntun.

Era baru Juventus ditandai dengan ditunjuknya Antonio Conte menjadi pelatih pada tahun 2011. Conte langsung membawa Bianconeri meraih Scudeto setelah 5 musim kesulitan menembus Capolista pasca kembali dari Serie B. “The Juventus Project” telah dimulai sejak 2009 dengan diresmikannya Juventus Stadium (sekarang Allianz Stadium).

Menantikan (Lagi) The Beauty of Serie A

Tradisi di Italia biasanya klub menyewa stadion milik pemerintah daerah. Praktis hanya Juventus dan Udinese yang memiliki stadion milik sendiri, tentu itu berdampak pada pendapatan klub. Tak cukup sampai di situ, Nyonya tua melanjutkan proyek masa depan.

Juventus membangun Pusat Pelatihan Baru untuk Tim Utama, Usia Muda dan Tim Wanita, Mega Store di Torino dan Milan, J-Museum, J-Hotel, J-Medical, J-College, dan yang paling ekstrem merubah logo klub yang selama ini identik dengan kuda jingkrak (ataupun zebra) menjadi simbol huruf J yang melambangkan jalan baru dan masa depan klub.

Kepindahan mega bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo juga bukan semata-mata ambisi Nyonya tua untuk menjadi kampiun di Italia dan Eropa. Lebih dari itu, kepindahan Ronaldo juga menjadi lahan bisnis mengingat popularitas pemain 35 tahun tersebut tak kunjung meredup.

Saya sempat optimis Inter Milan menjadi pesaing ketat kedigdayaan Juventus beberapa tahun lalu setelah saham terbesarnya dibeli oleh Erick Tohir yang merupakan putra bangsa, apalagi sekarang dilatih oleh Antonio Conte yang pernah membawa Juventus kembali pada masa jayanya.

Sayangya, meski sering merepotkan, Inter Milan, AC Milan, Napoli, Roma, Lazio bahkan Atalanta yang tampil impresif dua musim terakhir belum berhasil mengikis kedigdayaan Juventus di akhir musim selama 9 tahun. Sebagai penikmat Liga Italia saya mendambakan julukan The Beauty of Serie A sebagai rumah sepakbola dunia yang kompetititif, sportif, tidak rasis, memainkan sepakbola yang indah nan menawan serta melahirkan banyak bintang muda bisa kembali terwujud.

Jika musim depan belum ada pesaing serius Juventus, mungkin saya akan berdoa agar teman-temannya Sheikh Mansour dan para taipan Timur Tengah ikut berinvestasi dan membeli salah satu klub Italia.

Editor: Nabhan