Sebagai orang yang cukup criwis dan aktif di twitter, membaca dan membacot di tweet seseorang merupakan aktivitas yang cukup sering saya lakukan. Hari ini, saya cukup ke-trigger ketika membaca satu konten yang mencoba mengklasifikasikan perbedaan antara Real Friends dengan Toxic Friends. Saya pun dapat menyebutkan bahwa tidak ada teman yang tulus di dunia ini.

Tidak Ada Teman yang Tulus

Tweet yang dimaksud di-retweet oleh kurang lebih 1.200 akun dan disukai oleh kurang lebih 1.600 akun. Akun ini memposting sebuah gambar yang bertuliskan bahwa real friends adalah dia yang datang ketika dia rindu denganmu. Sedangkan toxic friends adalah dia yang datang hanya ketika dia membutuhkan pertolonganmu.

Yang membuat saya ingin bereaksi terhadap kasus ini adalah, selain karena retweet dan likes-nya yang cukup banyak, juga karna saya bukan cuman sekali menjumpai anggapan tersebut. Bahwa real friends merupakan dia yang datang bukan hanya saat butuh, dia ada saat kita jatuh, dan kalimat-kalimat lain yang menggambarkan kondisi-kondisi yang sengaja diromantisasi seperti itu.

Yang unik adalah, apakah kita tahu bahwa anggapan tersebut sangat subyektif sebenarnya? Dan apakah kita tahu bahwa sebenarnya teman yang tulus atau yang disebut dalam ‘teori’ di atas sebagai real itu mungkin tidak ada? Coba kita telisik satu persatu.

Teman yang real, seringkali diasosiasikan dengan suatu keadaan di mana ada seseorang yang hampir selalu ada di dalam segala kondisi yang kita alami. Bisa juga juga dia yang datang bukan hanya saat dia membutuhkan sesuatu dari kita dan atau bisa dibilang juga dia yang tulus-ikhlas berteman dengan kita.

Kalau kita mulai dari anggapan tersebut, kita akan menemukan fakta yang unik. Sebuah fakta yang menyatakan bahwa sebenarnya kita tidak pernah memiliki teman yang benar-benar tulus kepada kita. Tidak ada teman yang benar benar berteman dengan kita. Iya, kita harus menerima kenyataan bahwa tidak ada teman yang tulus di dunia ini.

Tulus dan Ikhlas

Kita mulai dari definisi tulus-ikhlas terlebih dahulu. Imam Ghazali pernah bilang, bahwa ketulusan atau kekhlasan itu adalah segala amalan yang tidak tercampur dengan sesuatu pengharapan apapun dan bersih dari segala hal yang tak baik menurut Allah. Kemudian pertanyaannya, Yakin gak tuh teman kita yang selama ini kita anggap real friends memiliki sikap tersebut?

Kalau kita analisis dengan contoh tweet yang saya sampaikan di awal tulisan tadi, bahwa real friends merupakan dia yang datang ketika dia rindu, bukan  ketika dia butuh bantuan kita. Maka itu sejujurnya sudah menggugurkan makna real friends itu sendiri, atau menggugurkan definisi teman yang tulus itu sendiri. Kenapa?

Pernah berpikir gak sih bahwa teman yang datang ketika dia rindu, atau ketika kita sedang terpuruk misalnya, sebenarnya dia sedang memanipulasi sikap egoistisnya dengan balutan altruistik dan empatiknya?

Karena, dia datang ketika dia rindu dengan kita, otomatis tujuan utamanya ketika dia datang atau ingin bertemu dengan kita tidak lain dan tidak bukan untuk memenuhi kebutuhan afektif dia. Kebutuhan agar hasrat kerinduannya kepada temannya terpenuhi, yang secara tidak kita sadari, mereka juga hanya datang di saat mereka membutuhkan pertolongan kita. Dalam hal ini adalah pertolongan untuk memenuhi kebutuhan akfektif tadi.

Kemudian, “Lah, kalau dia datang di saat kita sedang sedih maupun senang itu gimana? Masak iya dia masih memperhitungkan kebutuhan itu?”, Coba yok kita analisis bersama. Ketika kita sedih, dan kita meminta bantuan kepada mereka, dan mereka datang, bukan berarti mereka adalah teman yang tulus seperti yang dikatakan Imam Ghazali di atas.

Coba telusuri, tanya, kenapa mereka mau datang? Mungkin akan muncul jawaban klise seperti, “Aku kan temanmu, apapun kondisimu aku akan menemanimu”. Di situ kita gak pernah sadar, bahwa di balik alasan itu ada motif pemenuhan kebutuhan yang sedang dijalankan oleh teman kita. Apalagi kalau dia bilang bahwa dia dengan senang hati mau membantu kita. Itu artinya, dia membantu kita karena dia senang, bukan karena dia ingin benar-benar peduli terhadap kita.

Nah kalau dia bilang, “Aku seneng liat kamu seneng”, gimana? Ya itu sama aja, Bwuos. Dia hanya memikirkan kesenangannya, yang kita lihat selama ini adalah aksi dia di depan kita. Kita merasa dia kok mau berkorban ya? Padahal yang tidak kita ketahui adalah pada dasarnya dia sedang melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan afeksi dia, yang dalam hal ini adalah kebutuhan rasa bahagia.

Teman Toxic dan Tidak Toxic

Lalu, kalau begitu apa perbedaan teman yang toxic dengan tidak toxic?

Saya sengaja memakai istilah teman yang toxic dan teman yang tidak toxic, bukan memakai istilah real friends atau teman yang tulus dengan teman yang toxic. Karena, analisis di atas sudah secara otomatis menyatakan bahwa secara teoritis, teman yang tulus pada dasarnya tidak akan pernah ada.

Apalagi kalau dilihat dari teori Epikurienism, bahwa pada dasarnya manusia hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan kebahagiaan dia, entah itu rohani maupun ragawi, afeksi maupun materi. Tinggal bagaimana mereka dalam memenuhi kebutuhan itu dilakukan dengan cara bringas ala Hobbes dengan homo homini lupus-nya atau ala Locke dengan Hukum Alamiah yang berbasis moralitasnya.

Nah, anggapan di atas menghubungkan kita terhadap definisi klasifikasi mengenai toxic atau tidaknya teman kita. Kita mulai dari pernyataan ahli aja ya hehehe

Psikoterapis Dr. Sheri Jacobson, pendiri Harley Therapy, mengatakan bahwa sebuah hubungan yang toxic pada dasarnya adalah hubungan yang secara fundamental tidak sehat, dan menyebabkan dirimu (atau orang lain) terluka secara mental atau bahkan fisik. So, apabila hubungan kita dengan teman kita menyebabkan diri kita terluka secara mental maupun fisik, itu baru yang dinamakan toxic friends atau toxic relationship.

Yang artinya, ketika kita membicarakan toxic friends, kita sedang membicarakan mengenai hasil bukan cara dan bukan metode pertemanan. Saya ini seneng ketika ada teman yang mengejek saya dengan memanggil saya dengan nama orangtua saya, tapi ada orang yang merasa sakit hati ketika diperlakukan sama seperti yang teman saya perlakukan terhadap saya. Maka, toxic atau tidaknya suatu hubungan pertemanan itu hanya kita yang bisa mengukurnya, karena sekali lagi ini mengenai subyektifitas rasa.

Jadi Teman yang Tidak Toxic

Lantas, kalau sesubyektif itu, gimana caranya agar kita tidak jadi teman yang toxic? Jonathan Wolff mengatakan dalam bukunya “An Introduction to Political Philosophy”. Bahwa dalam menyikapi sesuatu yang subyektif, kita harus bisa membedakan antara rasionalitas kolektif dengan rasionalitas individual. Yang kita anggap rasional atau benar, atau dalam hal ini pertemanan yang toxic, belum tentu dianggap sama ketika kita menaruhnya dalam forum rasionalitas kolektif.

Maka solusinya adalah bagaimana kita mengkomunikasikannya. Dari beragam rasionalitas individual mengenai definisi toxic friendship/relationship tadi, kita coba komunikasikan kepada teman kita tadi. Apakah definisi dan ciri-ciri perlakuan mengenai toxic friendship/relationship kita sama atau berbeda, kalau berbeda, maka kita harus saling memahami mereka. Kita tidak bisa memasangkan standar definisi kita terhadap mereka.

Di sinilah konsep toleransi agree to disagree harus dipasang. Kita memahami mereka, memaklumi mereka, dan mereka juga memahami kita dan memaklumi kita hingga batas yang kita tentukan bersama, yang di saat yang sama kita tidak setuju atau tidak sepaham dengan mereka. Hati-hati, bedakan antara tidak setuju dengan memaksakan sikap atau anggapan.

Maka, dalam berteman, komunikasi itu sangat penting. Dan mungkin ini saatnya kita berhenti mencari teman yang tulus terhadap kita. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah bagaimana kita memfiltrasi, ,mana teman yang toxic, dan mana teman yang tidak toxic. Dan dari situ, kita semua bisa memutuskan hendak berteman dengan siapa.

Mungkin, bisa jadi tidak ada teman yang benar-benar tidak toxic. Maka, akhirnya kita hanya bisa memilih teman yang tingkat toxic-nya paling sedikit. Atau paling jarang di antara teman kita yang tingkat toxic-nya lebih tinggi atau lebih sering.

Editor: Nabhan