Mungkin saya termasuk orang yang jarang mengunggah musik apa yang saya dengar ke media sosial. Kendati jarang melakukan hal semacam itu, saya sendiri tidak merasakan kerisihan apapun dari kegiatan bagi-membagikan playlist di media sosial seperti yang beberapa orang resahkan. Apalagi terbesit keinginan untuk memusuhi kaum-kaum yang kebacut sering mendakwahkan playlist mereka di media sosial, tidak.

Yang jelas, saya cuma mau meyakinkan bahwa nggak ada salahnya membagikan playlist Spotify di media sosial. Apa lagi yang dibagikan ini cuma sekadar semacam foto atau screencapture-an yang bahkan tak memerlukan effort apapun untuk melihat dengan mengunduh terlebih dahulu, apalagi hanya untuk men-skip-nya.

Toh, foto atau screencapture-an itu sebenarnya merupakan fitur bawaan dari Spotify, orang juga tak perlu kerepotan untuk menggunakan fiturnya. Persetan tujuan adanya fitur itu  keperluan kepuasaan pelanggan atau sekadar pemasaran semata. Ya kalau ada fiturnya, kenapa nggak dimanfaatkan?

Musik sebagai identitas seseorang

Mari kita mulai ke pertanyaan dasar, “Seberapa penting playlist seseorang kepada kita?” Penting, nggak penting, saya juga tak mau gegabah menjawabnya. Dari beberapa penelitian, musik sering dikaitkan dengan ekspresi identitas, karakter manusia, kondisi sosial hingga keyakinan, namun umumnya musik dipersepsikan sebagai ekspresi emosi. Dalam hal sederhana, misalnya sedih dan senang, sebagian orang mengekspresikannya lewat musik. Bagi musisi, ya lewat karya. Bagi pendengar, ya dengan cara didengar.

Sederhananya, membagikan apa yang kita dengar atau yang sering kita putar, itu semacam membagikan keadaan dan perasaan kita ke orang lain. Walau interpretasi-nya juga macam-macam, ada orang yang mengekspresikan kesedihan lewat lagu ngrantes ala Didi Kempot, ada pula yang meluapkannya dengan lagu menghentak ala My Chemical Romance.

Tapi pada dasarnya tak jauh beda, bahwa tujuannya semata sebagai penunjukan ekspresi dan apa yang sedang kita rasakan. Jelas tak jauh beda dengan orang yang sambat, curhat atau sekadar cerita di media sosial. Seperti penggalan lirik All Around The World milik Oasis, “Tell ’em what you’ve heard. You’re gonna make a better day.”

Membagi playlist sebagai kode

Bukan hanya sebagai media menyampaikan kabar kita ke dunia, mengunggah playlist terkadang dijadikan sebuah kode. Yah, beberapa orang kadang terlalu malu-malu untuk mengatakan sesuatu, terutama bagi manusia sungkan yang ditawan rasa kasmaran. Hingga semua disetting sedemikian rupa dengan wujud judul atau potongan lirik, sebagai bahasa dalam ke-tertekan-an itu. Dan musik adalah bahasa kecanggungan itu. Walau kata T2,  kalau suka, ya tinggal: “Bilang saja, ok!”

Lalu kerisihan yang dirasakan beberapa orang, yang menganggap bahwa orang yang mengunggah playlist-nya di media sosial cuma dianggap mau kelihatan keren saja. Ya, mungkin memang ada benarnya, toh seperti umum perdebatan yang sering kita temui di media sosial sering berkutat di hal begini.

Tapi, musik itu selera, jadi keren menurut orang lain belum tentu keren menurut kita, kan.  Teman saya akan merasa keren dengan lagu-lagu folk-nya, tapi tidak di mata teman lain yang sering mendengarkan lagu-lagu pop punk, begitu sebaliknya. Jadi tenang saja, orang punya preferensi-nya sendiri-sendiri.

Lalu dalam jurnal Soley & Spelke (2016), “Seseorang cenderung untuk memilih teman karena memiliki kesamaan selera musik dari budaya yang sama.” Bisa jadi usaha mengunggah playlist adalah usaha menjaring teman, bisa jadi. Yang mana dari unggahan tersebut berbuntut panjang pada berbagai obrolan.

Bagi saya, hal demikian kadang berlaku, dan untuk tambahan saya sendiri sering memperpanjang diskusi dari sekadar unggahan playlist Spotify di story media sosial, sekalipun saya dan teman saya berbeda selera. Dari unggahan teman, saya dengan polosnya bertanya, “MCR ki, opo?” atau sebaliknya teman bertanya bagaimana hikayat Britpop dari unggahan playlist saya di media sosial. Dari hal sekadar unggahan playlist ini lah, kadang “jagongan” jadi tidak terasa sunyi.

Jujur saya tak masalah walaupun memang beberapa ada yang over dalam membagikan playlist mereka di media sosial, tapi yang diunggah toh hanya screencapture-an atau link Spotify saja. Kecuali yang di-share tersebut merupakan cuplikan “lagu full”, yang mana sering menyedot banyak kuota tanpa permisi, yang kadang lebih dari sekali pencet untuk men-skip unggahannya. Nah, untuk manusia seperti itu, silakan dipermasalahkan!

Editor: Nawa

gambar: https://review.bukalapak.com/