Sejujurnya, saya bukan orang yang paham betul tentang seni. Nilai pelajaran seni budaya saya di sekolah dulu juga sangat buruk. Kalau tak salah ingat, dalam tugas menggambar, nilai saya yang paling tinggi hanya 70, itu pun jarang terjadi. Bahkan sampai saat ini, saya tidak bisa membuat garis lurus secara presisi. Kemampuan saya dalam bidang seni memang sangat membagongkan.

Namun, ibarat tidak perlu menjadi seorang chef untuk tahu kalau bebek goreng Haji Slamet memiliki rasa yang maknyus, menikmati seni juga tak perlu harus bisa membuat karya seni. Ya, untuk menikmati sebuah seni, saya tak perlu tahu bagaimana karya ini dibuat? Bagaimana proses kreatifnya? Serta berapa banyak waktu yang diperlukan? Karena saya di sini hanya sebagai penikmat, bukan penilai atau juri ala-ala.

Tidak ada syarat khusus untuk menjadi penikmat

Tidak ada syarat apapun untuk menjadi seorang penikmat. Anda boleh saja menikmati musik yang menggelora, meski suara Anda tidak bagus-bagus amat. Anda juga boleh menikmati komedi, meski humor Anda sebatas bahasa inggrisnya ikan sapu-sapu adalah cleaning share fish. Bebasss, gan. Yaps, setidaknya saya meyakini hal tersebut. Sejauh pengalaman saya, ketika mengunjungi sebuah pameran seni, entah lukisan, atau seni instalasi ala artjog, saya selalu dibuat terkagum-kagum, bahkan mobat-mabet.

Percayalah, tak perlu menjadi seorang seniman untuk menikmati karya seni. Persis, Anda tak perlu menjadi pakar dalam bidang cinta, untuk merasakan indahnya cinta. Seorang pelukis pernah mengatakan pada saya kalau pemaknaan terhadap karya seni itu boleh sebebas-bebasnya, asal tak menganggap pemaknaan tersebut sebagai kebenaran tunggal. Tak seperti agama, keabsahan dalam seni memang cukup lentur. Dan saya meyakini itu.

Artinya kita boleh saja menganggap kalau lukisan adalah sebuah perasaan yang diungkapkan dengan sengaja. Yang bisa menjadi perayaan apa saja, entah merayakan kemanusiaan tanpa manusia, atau sekadar merayakan keheningan dalam keramaian. Kita juga sangat boleh mengatakan kalau lukisan adalah sebuah jalan cerita yang mirip dengan novel romans yang biasa dibaca dengan ratusan halaman serta disusun dengan kanvas dan kuas. Sekali lagi, bebasss.

Selain itu, tidak ada standar khusus di kacamata seni

Indikator sebuah seni pun sangat bisa diperdebatkan. Tentu kita masih ingat dengan pisang yang dilakban dan dipajang di sebuah pameran. Tidak main-main, pisang tersebut konon dibandrol 1,7 miliyar. Nominal yang bahkan saya kesusahan menuliskan angkanya secara lengkap.

Iya, sekali lagi, dalam pemaknaan karya seni memang bebas! Karena itu, jangan ada alasan untuk menolak mengunjungi suatu pameran seni karena tidak memiliki jiwa seni. Ramashok, Buos. Namun, bagi Anda yang sudah beberapa kali mengunjungi pameran seni dan belum menemukan sisi menyenangkannya, saya beri tips sederhana agar karya seni bisa dinikmati dengan riang gembira.

Tak perlu ndakik-ndakik menebak menggunakan teori konspirasi. Anda hanya perlu menggunakan ilmu otak-atik-matok. Iya, hubungkan saja semuanya, mulai dari judul, gambar, warna, goresan, serta apa-apa yang Anda lihat. Jika berhasil setidaknya menebak atau menghubungkan beberapa tanda yang ada menjadi sebuah kesatuan makna, percayalah, Anda akan bahagia gidrang-gidrang, seperti selesai menjawab soal matematika. Tentu saja tebakan itu bisa salah, namun Anda akan tetap bahagia gidrang-gidrang. No debat.

Apalagi, Anda ternyata bisa meraba-raba bagaimana susahnya karya seni itu dibuat, bagaimana proses kreatifnya atau bahkan bisa memaknai dengan penuh penghayatan. Tentu saja ledakan kekaguman akan lebih meledak-ledak. Sekali lagi, semua karya seni, baik lukisan, pahatan, maupun instalasi yang dipajang sedemikian rupa adalah produk bebas yang boleh dimaknai apa saja, entah diibaratkan seperti senyuman, tulisan, bahkan bakso balungan (sing baksone tak pangan, balungane diantem nag ndase yangmu). Mari merayakan kesenian, dan mari bebaskan diri dari sebuah pemaknaan.

Editor: Nawa

Gambar: Famillies Magazine