Kebahagiaan sederhana santri ketika mondok memang betul-betul sederhana.

Di tengah hantaman modernisasi dan pergaulan remaja yang tidak dapat dikontrol, pesantren semakin menjadi pilihan masyarakat untuk pendidikan putra-putrinya. Bagaimana tidak? Dunia pesantren mendidik hati, jiwa, serta akal pikiran para santri.

Selain memberikan teori keilmuan, praktik dari ilmu itu merupakan hal yang sangat dituntut bagi seorang santri. Sebagaimana sebuah maqolah :

العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر

“Ilmu tanpa amal bagai pohon tanpa buah

Atau sebuah ancaman dari Ibnu Ruslan dalam kitab Shofwatus Zubad bagi orang yang tidak mengamalkan ilmunya :

فعالم بعلمه لم يعملن # معذب من قبل عباد الوثن

Seseorang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, maka ia diazab sebelum diazabnya penyembah berhala

Betapa pentingnya keselarasan antara ilmu dan amal, antara teori dan praktik, sehingga dapat dilahirkan seseorang yang berilmu dan berbudi pekerti yang baik. Cerdas akal dan bening hatinya. Di bawah bimbingan dan asuhan seorang Kiai atau Nyai yang biasanya dalam masyarakat sudah terpandang ilmu dan budi pekertinya, santri dididik dan dilatih untuk menjalani kehidupan sederhana guna menurunkan nafsu yang selalu mengarahkan pada kejelekan.

Di antara kesibukan santri untuk belajar ilmu di bangku diniyah atau formal, antara mutholaah dan berjamaah, antara antre kamar mandi dan antre membeli nasi, terselip banyak kisah kebahagiaan sederhana santri yang selalu dinanti-nanti.

  1. Sambangan

Bukan menjadi hal rahasia lagi, jika santri selalu menunggu waktu sambangan. Kebahagiaan sederhana ketika orang tua berkunjung menjenguk putra atau putrinya di pondok pesantren. Dengan berbekal makanan kesukaan anaknya yang dimasak oleh orang tuanya, orang tua berharap dapat berkumpul melepas kerinduan dan makan bersama putra putrinya. Menyiapkan sejuta kisah untuk diceritakan kepada putra-putrinya. Siap mendengarkan keluh kesah putra putrinya yang akan ditimpali dengan nasehat bijak mereka.

Sedangkan anaknya sangat tidak sabar untuk menunggu orang tuanya. Ketika waktu sambangan tiba, biasanya anak akan bersiap menunggu. Mandi dan berhias diri. Menunggu dengan harap-harap cemas akan munculnya wajah orang tua atau keluarga dari gerbang nun jauh di sana. Atau menunggu panggilan dari salon menyebut namanya.

Namun, dalam masa pandemi Covid-19 ini, sambangan sementara ditutup demi menjaga keselamatan pondok dan keluarga. Andaikan pun ada waktu sambangan, tentunya dengan prokes yang ketat dan waktu yang terbatas. Semoga setelah pandemi berlalu, santri akan lebih bersyukur lagi ketika waktu sambangan normal kembali tiba.

2. Menemukan Sandal yang Dighosob

Ghosob sandal sudah menjadi penyakit dalam dunia pesantren. Ghosob berarti meminjam tanpa izin. Sebab malas untuk mengambil sandalnya sendiri dan terkadang berbekal modal “Insyaallah pemiliknya ikhlas. Sebentar doang koq.” seseorang mengghosob sandal orang lain. Atau bahkan ia enteng mengghosob sandal temannya yang menurutnya pasti akan rela meminjamkannya. Sayangnya, ia tidak tahu kapan sandal itu dibutuhkan pemiliknya. Si pemilik yang hendak memakai sandalnya tidak menemukan sandalnya. Dia kesal dan pada akhirnya bisa mengghosob milik orang lain. Begitulah kira-kira alur ghosob mengghosob bagai rantai makanan yang tidak putus. Sering sekali tema ghosob ini menjadi tema ceramah para ustadz atau ustadzah.

Saat si empunya sandal menemukan sandal yang hilang sebab, gembira dan kesalnya bukan main. Gembira sebab ia tidak perlu beli sandal baru. Kesal pada orang yang mengghosob. Rasa pengen jitak kepalnya. Wkwk.

3. Mendengar Wallahu A’lam Bis Showab

Sudah maklum sekali ketika melihat seorang santri yang tertidur atau terkantuk-kantuk ketika pengajian kitab. Terkadang, ustadz memaklumi sehingga ia dibiarkan. “Takut dia mimpi Nabi” canda ustadz tersebut. Tetapi sering juga dibangunkan dan disuruh untuk berwudhu atau berdiri di kelas agar tidak mengantuk. Toh dalam belajar memang harus berpayah-payah agar kelak tidak merasakan pahitnya kebodohan. Sebagaimana yang dikatakan Imam Syafii.

Dalam dunia pesantren, pengajian kitab sering diakhiri kata Wallahu A’lam Bis Showab. Kalimat itu adalah bentuk kepasrahan seorang guru terhadap Allah yang lebih tahu tentang kebenaran. Kalimat ini magis sekali sebab ketika santri yang terkantuk-kantuk bahkan tertidur pun akan terjaga ketika kalimat ini terucap. Cerah matanya tidak mengantuk lagi. Sebab kalimat itu tanda pengajian telah berakhir.

Editor : Hiz

Foto : News Unair