Kesehatan mental hari ini mengalami peningkatan yang cukup gemilang. Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya yang masih dianggap tabu dan aneh.

Hari ini sebagian masyarakat Indonesia sudah mulai meningkat kesadarannya terhadap kesehatan mental. Bisa dilihat dari banyaknya literatur opini, infografis, hingga kampanye terkait pentingnya memperhatikan kesehatan mental seseorang.

Kesadaran kesehatan mental meningkat cukup drastis ketika pandemi Covid-19 mulai di Indonesia, seperti banyak yang mengaku mengalami kesedihan yang panjang, kekhawatiran masa depan, hingga merasa tidak terhubung dengan orang-orang.

Hal tersebut keren disapa dengan mental illness, seperti depresi, bipolar dan sebagainnya.

Self-diagnosis

Sayangnya, kesehatan mental saat ini bukan semata-mata hal yang perlu dikampanyekan dengan baik agar kesadaran terbentuk. Namun, malah menjadi trend yang diawali dengan self-diagnosis atau diagnosis pribadi tanpa campur tangan ahli.

Banyak terjadi di kalangan remaja yang mengaku dirinya memiliki mental illness berdasarkan literatur yang dia baca di internet atau tes-tes maupun kuis-kuis untuk mengukur berapa tingkat depresi.

Aku melihat, trend memiliki mental illness ini juga kemungkinan berangkat dari banyaknya masyarakat yang mulai sadar akan kesehatan mental, sehingga itu menjadi celah untuk menarik perhatian. Who knows, masyarakat Indonesia memang suka sensasi.

Privilege Mental Illness

Tak hanya menjadi trend, mental illness juga menjadi privilege bagi mereka yang memiliki gangguan mental. Terlepas dari diagnosis pribadi maupun campur tangan ahli.

Privilege adalah hak istimewa atau keistimewaan yang didapatkan seseorang. Dalam privilege mental illness, privilege yang didapatkan berasal dari diri sendiri maupun orang-orang sekitar.

Mereka yang memiliki privilege mental illness cenderung memiliki kebebasan lebih untuk melakukan apapun, dalam kepentingan melindungi kesehatan mental mereka atau kewajaran atas reaksi yang berangkat dari mental illness mereka, yang merugikan pihak lain. Singkat kata, ya sudah wajar saja dia begitu, orang memiliki mental illness.

Aku pernah menonton film Kukira Kau Rumah, di mana film itu juga mengangkat tema kesehatan mental. Ingat tidak scene ketika Niskala mencari Pram untuk membuktikan kalau dia berhasil mendapat nilai A?

Niskala yang memiliki bipolar, emosinya tersulut dan langsung marah-marah. Jangan halangi Niskala, dia ingin segera membungkam mulut Pram. Juga ketika Niskala dengan lantangnya berjalan alias nabrak orang dan tetap jalan tanpa ucapan maaf. How rude.

Mungkin beberapa teman kamu juga ada yang kurang lebih bersuara seperti ini ketika dia entah sengaja atau tidak membentakmu,

Gue memang begini, emosi gue tidak jelas. Suka tiba-tiba marah karena gue bipolar.”

Atau jika kamu anak organisasi, pasti pernah mendapatkan anggota yang tiba-tiba hilang. Usut punya usut, ternyata teman organisasi kamu merasa tidak nyaman di organisasi tersebut sehingga mengganggu kesehatan mentalnya, dan berakhir dia ghosting organisasimu dan kamu.

Ujung-ujungnya, kesehatan mental kamu yang terganggu karena temanmu tadi memilih menyelamatkan kesehatan mentalnya daripada berurusan dengan tanggung jawab bersamamu dan organisasimu.

Melindungi Kesehatan Mental

Memang salah memiliki mental illness? Memang salah melindungi kesehatan mental diri sendiri? Tidak, jelas tidak. Namun, ada beberapa hal yang perlu direfleksikan kembali.

Melindungi kesehatan mental diri sendiri itu penting, penting sekali. Namun, bukan berarti kita boleh menyakiti orang lain. Terlalu sibuk dan fokus dengan kesembuhan diri sendiri, sehingga lupa berempati dengan orang di sekitar.

Bagaimana bisa kamu mementingkan kesehatan mental namun kamu sendiri yang menghancurkan kesehatan mental orang lain. Memiliki masalah kesehatan mental tidak membuat kita berhenti jadi manusia dan lupa cara memanusiakan manusia lain, kan?

Tingkat kesulitan maupun kemampuan menghadapi problematika mental tentu berbeda dari satu orang dengan yang lain. Sama-sama kita tahu juga, tidak semua orang paham dengan problematika mental yang sedang kita alami, kan?

Lalu bagaimana bisa kamu menuntut orang lain untuk memaklumi kesehatan mental kamu, sedangkan kamu mengamini tidak semua orang memahami.

Kita bisa sama-sama belajar mulai saling memahami tanpa memandang privilege memiliki mental illness. Bukan menjadikan mental health maupun mental illness sebagai trend semata, namun benar-benar kepedulian sesama untuk tidak menghakimi maupun menyakiti.

Tidak sebatas kesadaran, namun juga kemauan untuk memulai dan memahami, mulai mengerti, mulai mematahkan stigma buruk kesehatan mental hari ini di masyarakat.

Editor: Lail

Gambar: Pexels