Berbagai sifat Tuhan yang ada tidak paradoks sama sekali bagi Tuhan. Hanya manusianya saja yang menurunkan level ketuhanan hingga terjebak pada sebuah paradoks.

Apakah Tuhan itu Maha Paradoks? Tulisan ini merupakan pengalaman kegabutan saya memikirkan kemahaan Tuhan yang mungkin jarang dipikirkan oleh masyarakat awam.

Bukannya apa-apa, hanya saja seseorang pernah berkata pada saya bahwa memiliki pegangan ketuhanan secara berdaulat itu wajib, untuk mereka yang beragama. Jadi, beragamanya nggak hampa dan nggak sekedar ikut-ikutan aja.

Ada sebuah pertanyaan mendasar mengenai ketuhanan yang mungkin dapat dipikirkan dengan seksama. Sebetulnya, bisa nggak sih Tuhan itu merevisi kehendak-Nya? Misal, ada sesuatu ciptaannya atau kehendak-Nya yang mungkin perlu direvisi oleh-Nya.

Selaku Tuhan yang maha kuasa tentunya bisa, dong. Suka-suka Tuhan juga, dong. Toh, itu semua ciptaan-Nya dan dalam naungan kekuasaan-Nya. Namanya juga Tuhan, apapun bisa dilakukan-Nya.

Namun, jika Tuhan mampu merevisi kehendak-Nya, berarti ada suatu kehendak yang keliru sehingga dilakukan revisi?

Lah, bentar-bentar, bukannya Tuhan itu maha tahu? Bukannya Tuhan itu tahu segalanya? Dikarenakan tahu segalanya, tentunya Tuhan telah memiliki dialek kehendak-Nya yang tersistematis secara maha sempurna tanpa ada kekeliruan di dalamnya.

Kalau begitu, nggak mungkin Tuhan melakukan kekeliruan dalam suatu kehendak-Nya, apalagi sampai melakukan revisi. Masa iya Tuhan begitu? Masa iya Tuhan melakukan revisi?

Kalau mahasiswa, ya tentunya pantas-pantas saja melakukan revisi. Justru, kalau mahasiswa nggak ada revisinya sama sekali, malah perlu dipertanyakan. Apakah mahasiswa itu terlalu cerdas untuk tidak memiliki kesalahan? Atau mungkin dosennya yang terlalu malas untuk mengkoreksi?

Nah, itu sekelas mahasiswa loh, ya! Lah, tapi ini kan sekelas Tuhan, masa iya Tuhan melakukan revisi? Namun, di sisi lain, masa iya Tuhan nggak mampu melakukan revisi atas kehendaknya?

Jika kalian para pembaca berkata bahwa berbagai pertanyaan ini merupakan paradoks belaka, maka saya sepakat dengan itu. Pasalnya, sampai detik tulisan ini dibuat, jawaban yang ada dalam kepala saya adalah Tuhan itu maha paradoks.

Kenapa saya katakan begitu? Coba dipikir sejenak deh, bagaimana entitas Tuhan itu bekerja. Tuhan sering dikonsepsikan oleh banyak orang secara paradoks, selalu bertabrakan antar sifat-Nya.

Misal, Tuhan itu maha meninggikan, tapi juga maha merendahkan. Seorang manusia dapat memiliki kekayaan yang melimpah hanya dengan sekejap mata, jika memang Tuhan mau melakukannya.

Ibarat seorang pejabat negara yang dapat bergelimang harta atas jabatannya, dan terus akan berlimpah hartanya jika memang Tuhan mau melakukan itu. Tentu saja dengan penciptaan dialektik kehidupan manusia sedemikian rupa oleh Tuhan.

Namun, perlu diketahui juga bahwa Tuhan itu maha merendahkan makhluknya hanya dengan sekejab mata juga. Contoh, pejabat tadi yang bisa saja di buka aib korupsinya sehingga lenyaplah seketika kehormatan dan kekayaan yang dimilikinya. Bukankah cukup paradoks jika Tuhan maha meninggikan dan maha merendahkan?

Menurut saya, memang harus seperti itu untuk dikonsepsikan. Jika, Tuhan tidak paradoks maka bukan Tuhan namanya. Mungkin hanya sebatas akal manusia yang berusaha merasionalisasi konsep Tuhan.

Menurut saya, Tuhan itu nggak bisa dikonsepsikan secara logis oleh manusia. Pasalnya, akal manusia nggak punya kapasitas untuk itu. Tolok ukurnya sudah berbeda, antara pencipta dan ciptaan merupakan entitas yang berbeda. Justru, Tuhan terlalu rendah atau mungkin turun satu level dari kemahaan-Nya, jika hanya dapat dirasionalisasi oleh akal versi manusia yang merupakan ciptaan-Nya sendiri.

Tuhan memiliki konsepsi tertentu yang mana nggak dapat diterima oleh akal versi manusia. Pasalnya, akal manusia sudah terlalu terbiasa menyerap objek material lingkungan sekitarnya yang menurutnya logis.

Jika manusia dipaksa menyerap atau merasakan dzat yang sama sekali belum pernah dirasakannya, maka manusia secara maksimal hanya mampu meraba-rabanya, nggak sampai terserap sepenuhnya seratus persen.

“Oh ternyata Tuhan itu maha tahu, oh Tuhan itu maha kuasa, oh Tuhan itu maha segalanya,” dan seterusnya. Namun, segala sifat kemahaan Tuhan itu terpaku oleh tolok ukur akal manusia, bukan tolok ukur Tuhan. Sehingga ketika ditemui paradoks, maka manusia memperdebatkannya.

Padahal, sebenarnya kita lupa bahwa ada kata “maha” di dalam berbagai sifat Tuhan tersebut. Makna kata “maha” itu sendiri menandakan bahwa itu merupakan tolok ukur diluar batas kemanusiaan.

Sehingga cukup keliru ketika kita memahami sifat Tuhan dengan tolok ukur manusia, maka yang terjadi akan timbul paradoks di dalamnya. Justru, berbagai sifat Tuhan yang pernah ada tersebut nggak paradoks sama sekali bagi Tuhan. Hanya manusianya saja yang menurunkan level ketuhanan hingga terjebak pada sebuah paradoks.

Sampai sini apakah kalian bingung? Atau mungkin menemukan pencerahan? Apapun itu, saya hanya sebatas menceritakan pengalaman saya yang mungkin perlu diceritakan.

Editor: Lail

Gambar: Pexels