Kulihat Supardi, sahabatku itu, mengayuh becaknya membawa penumpang di seberang jalan di depan Stasiun Gubeng, Surabaya. Wajah sawo matangnya semakin matang karena terik matahari yang menyengat. Keringatnya membuktikan bahwa ia bekerja sangat keras. Dan ia benar-benar pekerja keras. Saat ini, memang tak banyak orang yang menggunakan becak. Mereka lebih nyaman naik ojek online, seperti Gojek misalnya; karena murah, mudah dan lebih cepat.

“Cak Pardi!” Teriakku dari jauh untuk sekedar menyapanya.

Sik ngeterno penumpang… Entenono yo…!” (Masih mengantar penumpang, tunggu ya). Balasnya dengan teriakan yang sama keras dengan nada serak ala Kaka Slank.

***

Seperti biasa, kami akhirnya bertemu di warung kopi sederhana untuk sekedar melepas rindu. Saya kebetulan berdinas di kota Bonek dan rasanya tidak afdol kalau tidak sowan ke seorang sahabat.

“Cak Pardi, menterinya sudah ganti… Pak Muhadjir wis mundak dadi Menko koyo Mahamantri sing mimpin menteri-menteri (Pak Muhadjir naik jabatan jadi Menko, seperti Mahamantri)” Selorohku membuka perbincangan.

“Lha iyah betul! Jare tv sing ngganteni bose Gojek! Sopo jenenge? Pak Na’im, ya? (Katanya tv yang menggantikan adalah bosnya Gojek. Siapa namanya? Pak Na’im ya?)” Cak Pardi menanggapi penuh antusias.

“Nadim Cak, Nadim, Nadim. Nadim Makarim.” Koreksiku pada tanggapannya.

“Lha ya itu, masak ya bisa… urusan sebesar itu diserahkan pada yang bukan ahlinya. Na’im kan, eh Nadim kan seorang pengusaha. Lagipula sekolahnya di Amerika juga sekolah bisnis. Sebenarnya, saya sih senang saja kalau nanti anak-anak sekolahan ini di masa depan bisa menjadi bos-bos, juragan-juragan, asal gak ngebosi, macak bos (arogan dan sombong maksudnya).

Tapi kalau jadi pekerja-pekerja, buruh-buruh, kuli-kuli lan tukang-tukang kaya aku, ya itu namanya persoalan. Berabad-abad dijajah Belanda, kita ini dijadikan kuli. Mosok wis merdeka suwe, yo iseh dadi kuli?(Masa’ sudah lama merdeka, masih menjadi kuli?).” Curhatnya dengan nada yang menekan naik turun.

Kuseruput kopi panasku dan kurasakan aroma jantannya dalam-dalam. Maklum, sudah lama tidak ngopi karena terserang maag; khas penyakit wong cilik.

“Ngene lho Cak, Gojek itu kan canggih. Dari hape sudah bisa memesan ojek, taksi, makanan dan lain-lain. Omsetnya luar biasa besar, jutaan dolar. Dianggap memperkaya negara, sekaligus memberdayakan rakyat bawah. Meskipun di sisi lain membunuh profesi tukang becak, tapi menurut banyak orang, faedahnya untuk kehidupan sangatlah besar.

Kalau Presiden kita, Pak Jokowi, lantas mempercayakan urusan pendidikan ke Mas Menteri, Nadim, bukan berarti lantas berharap agar anak-anak bangsa menjadi anak-anak yang njuragani atau malah menjadi kuli yang minderan. Tapi kepingin jadi jembatan, seperti Gojek, yang meningkatkan perekonomian negara sekaligus perekonomian orang-orang miskin. Intinya, menghapus kesenjangan melalui pendidikan.” Tanggapanku dengan nada yang sok tahu.

Penulis: Hasnan Bachtiar

Ilustrator: Ni’mal Maula