Pernah dengar lagu “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” yang dinyanyikan Almarhum Chrisye feat Ahmad Dhani?

Lagu yang bernuansa religi ini memiliki makna yang begitu dalam, dari lirik awalnya saja sudah berisikan pertanyaan yang meragukan ketulusan ibadah kita sebagai hamba dalam menyembah Tuhan, “Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga”

Dapat dikatakan kalau lagu ini lebih dari sekedar lagu religi, namun lebih dalam membahas spritualitas penghambaan kepada Tuhan.

Diadaptasi dari Syair Rabiah al-Adawiyah

Lirik dalam lagu ini terinspirasi dari doa seorang tokoh sufi yang bernama Rabiah al-Adawiyah.

Ya Allah, jika aku menyembahMu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahMu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi, jika aku menyembahMu demi Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu yang abadi padaku

Doa yang ia panjatkan berisi curahan hatinya yang mengharapkan ridhoNya dengan penghambaan yang tulus dan ikhlas, tanpa takut terhadap neraka dan tidak mengharapkan nikmat surga.

Dikutip dari buku Mahabbah Cinta Rabiah Al Adawiyah, dalam perkembangan ajaran mistik Islam, Khauf (takut) dan raja’ (harap) merupakan ajaran utama tertua dalam kehidupan para zahid dan sufi.

Khauf yang dimaksud adalah takut kepada Allah dan azabNya, sedangkan raja’ adalah mengharapkan ridha Allah dan surganya.

Takut dan harap merupakan komponen iman. Sebagaimana Tuhan ajarkan bahwa orang yang beriman akan berdoa dengan rasa takut dan harap.

Allah berfirman “Mereka menyeru kepada Tuhannya dengan rasa takut dengan rasa takut dan harap” (QS. As- Sajdah, 32:16)

Namun, bagi Rabiah, ia telah meningkatkan ibadahnya dari hanya sekedar takut dan harap, menjadi cinta yang tulus kepada Tuhannya.

Pesan untuk Ketulusan Ibadah Menyembah Tuhan

Lagu ini mengajak kita untuk membayangkan, bagaimana kalau ternyata surga dan neraka tidak pernah ada, apakah kita masih mau sujud kepadaNya?

Pertanyaan ini berkaitan dengan esensi kita sebagai hamba. Hamba pada dasarnya adalah abdi, orang yang mengabdi.

Jika diibaratkan, seperti abdi pada zaman kerajaan, atau supaya lebih relate dengan zaman sekarang misalnya menjadi abdi negara, sebagai orang yang mengabdi artinya kita secara sukarela harus siap dengan segala ketentuan yang diberikan oleh atasan.

Begitupun dengan pemaknaan yang lebih luas menjadi hamba Tuhan, artinya kita harus berserah diri kepadaNya, ketulusan ibadah.

Sebagaimana firman Allah “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (QS Al An’am, 16).

Ayat ini adalah bagian dari doa iftitah yang sering kita ucapkan saat sholat, namun terkadang kita tidak memahaminya, padahal maknanya adalah sebuah janji kita sebagai hamba untuk menyerahkan segalanya dalam hidup ini hanya untuk Allah.

Menjadi Bahan Renungan

Memaknai lagu jika surga dan neraka tak pernah ada, akhirnya menjadi sebuah renungan bagi kita, sudah mencapai level manakah kita sebagai hamba Tuhan?

Apakah kita beribadah hanya sekedar melaksanakan kewajiban, apakah kita sebagai hamba yang hanya mengharapkan surga dan takut pada neraka atau sudah seperti Rabiah Al Adawiyah yang penuh cinta dalam beribadah kepadaNya?

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri. Jika pun kita baru menjadi hamba yang hanya sekedar melaksanakan kewajiban, itu bukanlah sesuatu yang hina.

Karena sejatinya keimanan adalah sebuah perjalanan panjang yang harus kita tempuh untuk mendapatkan ridhoNya.

Editor: Lail

Gambar:

Tuluskah kita Beribadah, Jika Surga dan Neraka Tidak Ada?

Pernah dengar lagu “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” yang dinyanyikan Almarhum Chrisye feat Ahmad Dhani?

Lagu yang bernuansa religi ini memiliki makna yang begitu dalam, dari lirik awalnya saja sudah berisikan pertanyaan yang meragukan ketulusan ibadah kita sebagai hamba dalam menyembah Tuhan, “Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga”

Dapat dikatakan kalau lagu ini lebih dari sekedar lagu religi, namun lebih dalam membahas spritualitas penghambaan kepada Tuhan.

Diadaptasi dari Syair Rabiah al-Adawiyah

Lirik dalam lagu ini terinspirasi dari doa seorang tokoh sufi yang bernama Rabiah al-Adawiyah

Ya Allah, jika aku menyembahMu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahMu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi, jika aku menyembahMu demi Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu yang abadi padaku

Doa yang ia panjatkan berisi curahan hatinya yang mengharapkan ridhoNya dengan penghambaan yang tulus dan ikhlas, tanpa takut terhadap neraka dan tidak mengharapkan nikmat surga.

Dikutip dari buku Mahabbah Cinta Rabiah Al Adawiyah, dalam perkembangan ajaran mistik Islam, Khauf (takut) dan raja’ (harap) merupakan ajaran utama tertua dalam kehidupan para zahid dan sufi.

Khauf yang dimaksud adalah takut kepada Allah dan azabNya, sedangkan raja’ adalah mengharapkan ridha Allah dan surganya.

Takut dan harap merupakan komponen iman. Sebagaimana Tuhan ajarkan bahwa orang yang beriman akan berdoa dengan rasa takut dan harap.

Allah berfirman “Mereka menyeru kepada Tuhannya dengan rasa takut dengan rasa takut dan harap” (QS. As- Sajdah, 32:16)

Namun, bagi Rabiah, ia telah meningkatkan ibadahnya dari hanya sekedar takut dan harap, menjadi cinta yang tulus kepada Tuhannya.

Pesan untuk Ketulusan Ibadah Menyembah Tuhan

Lagu ini mengajak kita untuk membayangkan, bagaimana kalau ternyata surga dan neraka tidak pernah ada, apakah kita masih mau sujud kepadaNya?

Pertanyaan ini berkaitan dengan esensi kita sebagai hamba. Hamba pada dasarnya adalah abdi, orang yang mengabdi.

Jika diibaratkan, seperti abdi pada zaman kerajaan, atau supaya lebih relate dengan zaman sekarang misalnya menjadi abdi negara, sebagai orang yang mengabdi artinya kita secara sukarela harus siap dengan segala ketentuan yang diberikan oleh atasan.

Begitupun dengan pemaknaan yang lebih luas menjadi hamba Tuhan, artinya kita harus berserah diri kepadaNya, ketulusan ibadah.

Sebagaimana firman Allah “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (QS Al An’am, 16).

Ayat ini adalah bagian dari doa iftitah yang sering kita ucapkan saat sholat, namun terkadang kita tidak memahaminya, padahal maknanya adalah sebuah janji kita sebagai hamba untuk menyerahkan segalanya dalam hidup ini hanya untuk Allah.

Menjadi Bahan Renungan

Memaknai lagu jika surga dan neraka tak pernah ada, akhirnya menjadi sebuah renungan bagi kita, sudah mencapai level manakah kita sebagai hamba Tuhan?

Apakah kita beribadah hanya sekedar melaksanakan kewajiban, apakah kita sebagai hamba yang hanya mengharapkan surga dan takut pada neraka atau sudah seperti Rabiah Al Adawiyah yang penuh cinta dalam beribadah kepadaNya?

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri. Jika pun kita baru menjadi hamba yang hanya sekedar melaksanakan kewajiban, itu bukanlah sesuatu yang hina.

Karena sejatinya keimanan adalah sebuah perjalanan panjang yang harus kita tempuh untuk mendapatkan ridhoNya.

Editor: Lail

Gambar: Freepik