Uang Kuliah Tunggal atau UKT saat pandemi ini sedang ramai didiskusikan dan diperbincangkan. Baik di kanal-kanal, lapak-lapak, forum-forum, lingkar-lingkar obrolan dunia mahasiswa.

UKT yang diyakini sebagai suatu persoalan sangat fundamental tersebut menjadi topik utama bahkan sempat menempatkan diri sebagai penghuni puncak trending jagat dunia maya.

Suara-suara aspirasi dan kritik yang dilontarkan oleh mahasiswa-mahasiswa lewat berbagai corong-corong dunia maya tersebut berhasil menyita perhatian pihak-pihak terkait. Mulai dari kementerian sebagai induk penanggung jawab kebijakan sampai pihak rektorat-rektorat perguruan tinggi masing-masing sebagai pelaksana.

Namun, sampai hari ini respon dari pihak-pihak terkait tersebut masih belum mampu menjawab keresahan dari banyak mahasiswa tentang ukt saat pandemi. Loh kok bisa? Bahkan kalau kita mengikuti kabar yang beredar di kampus-kampus, suara-suara aspirasi tersebut sudah memasuki fase yang lebih serius – demonstrasi. Ngerinya beberapa sampai mendapat kecaman dan ancaman yang gak main-main. Seperti kabar drop out dari Universitas Nasional Jakarta beberapa hari yang lalu. Malah ruwet toh.

Prinsip dan Problematika UKT

Sebelum membahas inti persoalan UKT yang berbuntut panjang sampai hari ini, UKT merupakan isu yang sensitif sejak pertama kali diberlakukan. Banyak persoalan-persoalan yang menjadi topik minor di bawah payung UKT.

Mulai dari besarnya nominal yang tidak sesuai dengan fasilitas yang diberikan, ketidaktepatan sasaran, transparansi aliran, sampai yang lebih luas yakni UKT adalah gerbang dari jurang besar bernama komersialisasi pendidikan.

Namun bukan itu semua yang menjadi nada bersama yang menghiasai media sosial beberapa hari kemarin. Persoalannya bermuara di titik yang sama, yakni efek pandemi. Pandemi covid-19 yang menjangkit Indonesia sampai detik ini mengakibatkan beberapa aspek kehidupan termasuk ekonomi terdampak secara serius.

Ekonomi yang selama ini menjadi tulang punggung keberlangsungan hidup, akibat pandemi secara perlahan menuju titik krisis paling nadir – banyak lapang pekerjaan hilang, PHK, turunnya daya konsumsi, dsb.

Mengapa Penyesuaian UKT Saat Pandemi Harus Diwujudkan Secara Menyeluruh

Pandemi ini menyerang seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali – mau dari kelas atas yo terdampak, apalagi kelas bawah makin-makin dah. Maka pemotogan atau penurunan UKT adalah suatu keniscayaan yang harus diwujudkan.

Landasan utamanya, prinsip UKT adalah pembiayaan sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga mahasiswa. Jika semua lapisan masyarakat terdampak, kondisi ekonomi semua keluarga mahasiswa mengalami perubahan, kebijakan UKT harusnya juga ada perubahan. Minimal terkait turunnya nominal.

Prinsip kedua, UKT diberlakukan untuk membiayai fasilitas dan operasional kampus. Jika pandemi mengakibatkan pembelajaran diberlakukan secara daring – resmi sesuai kebijakan Kemendikbud dan Kemenag – artinya selama satu semester ke depan, mahasiswa tidak memakai fasilitas yang harusnya didapatkan. Kalau fasilitas aja tidak diperoleh, lantas UKT untuk apa?

Disinilah titik inti permasalahannya. Sebenarnya permasalahan ini tidak akan menjadi larut kalau pihak kementrian dan pihak kampus memahami prinsip UKT, atau menjalin komunikasi lebih massif terkait transparansi dana UKT yang akan didapatkan.

Alih-alih memberikan respon yang positif dan rasional, kedua pihak induk tersebut saling lempar tanggung jawab. Pak menterinya bilang segala eksekusi kebijakan penurunan UKT ada di tangan rektorat kampus masing-masing, pihak kampusnya lempar balik kalau penurunan UKT menunggu kebijakan kementerian atau mekanisme penurunan yang tidak terbuka dan rumit secara administrasi.

Pewajaran Ketidakadilan

Lebih miris lagi, UKT yang menjadi persolan fundamental semua mahasiswa, nyatanya tidak sanggup menggugah kepedulian semua mahasiswa. Masih terdapat mahasiswa-mahasiswa yang merasa sok dengan mengganggap UKT adalah persoalan remeh. Yang penting saya sanggup membayarnya – menyingsikan teman-teman yang terdampak secara serius dan mewajarkan ketidakadilan mengenai prinsip UKT yang dipermainkan.

Imbasnya, suara-suara aspirasi yang sempat menjamuri media sosial beberapa hari lalu adalah bak angin berlalu. Rasa solidaritas dan kepedulian antar mahasiswa yang selama ini hilang melahirkan sikap-sikap pewajaran ketidakadilan. Lebih jauh lagi, andaikata persoalan UKT ini tidak dianggap secara serius, tahun-tahun kedepan mewujudkan biaya dan kemudahan akses pendidikan tinggi adalah sebuah kemustahilan.