Akhir-akhir ini makna ulama identik dengan agamawan. Ulama adalah mereka yang paham ilmu agama. Akibatnya muncul berbagai isu seperti “Bela Ulama”, “Ijitima’ Ulama”, “Ulama Baru” dan lain-lain. Atas asumsi ini, tulisan ini akan sedikit mengulas, siapakah sebenarnya yang disebut ulama itu? tokoh agama, kyai pemimpin ormas keagamaan, ataukah seorang ahli ilmu ekonomi bisa disebut ulama?

 

Ulama secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata “Aliim” yang maknanya orang-orang yang mengetahui. Secara sosiologis, masyarakat memahami ulama’ itu sebagai sosok agamawan, kyai, dan orang-orang yang paham ilmu-ilmu agama. Lebih sempit lagi memahami hukum-hukum agama (ahli fikih).

 

Tentang sosok ahli agama dapat ditemukan dalam At-Taubah ayat 122,“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

 

Dalam ayat tersebut tidak menyebut kata ulama. Melainkan dengan kalimat liyatafaqqahu fiddin (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama).

 

Adapun dalam Fatir ayat 28 Allah secara tegas menyebut ulama, yaitu “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Pemahaman mudahnya yang dimaksud ulama adalah seseorang yang “takut pada Allah”. Ulama adalah orang yang tunduk dan mengabdi pada Allah karena ilmu pengetahuan yang mendalam.

 

Ada hal penting yang perlu digaris-bawahi dalam Fatir ayat 28. Ternyata dalam ayat sebelumnya (Fatir ayat 27) Allah mendahului dengan pentingnya memperhatikan ayat-ayat semesta melalui fenomena dan hukum alam. Ketakutan kepada Allah ini, merupakan akibat dari pengamatan dan ekspolarasi alam semesta. Melalui ilmu-ilmu pengetahuan (science) yang mendalam membuat seorang hamba takut kepada Allah karena menyadari batapa dahsyatnya alam semesta raya ini.

 

Baru kemudian, pada ayat 29 disinggung tentang membaca kitab dan mendirikan shalat serta akhlak. Dari sini kita dengan mudah mendapat pemahaman bahwa sebenarnya ulama adalah seorang pakar ilmuwan di bidang sains (baik sains alam maupun sains sosial). Dari ilmunya tersebut melahirkan ketundukan dan ketakutan kepada ”Sang Pencipta”, kemudian menyebabkan ia taat dan beribadah kepada Allah.

 

Profil ulama, dapat kita lihat dari mereka para ilmuan zaman keemasan Islam misalnya Al-Kindi, Ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Farabi dan lain-lain. Mereka selain menguasai ilmu fikih, tafsir, dan kalam, pada saat yang sama mereka menguasai filsafat, tasawuf, kedokteran, metematika dan lain-lain.

 

Dalam hadits Nabi dinyatakan ”al-Ulama warasatul anbiya” (ulama itu adalah para pewaris Nabi). Pertanyaannya, mengapa ulama dinyatakan sebagai pewaris Nabi, bukan dikatakan sebagai pewaris Rasul?

 

Dengan meminjam pembacaan kontemporer Muhammad Shahrur penting untuk menjernihkan makna ulama. Maka meminjam gagasan Shahrur yang tertuang dalam karya besarnya yaitu Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qiraah Muashirah. Sharur membedakan antara Nubuwah (Kenabian) dan Risalah (Kerasulan). Karena itu ia menyatakan “Dan karena Rasulullah SAW adalah seorang rasul sekaligus Nabi, maka kitab—wahyu—yang diwahyukan kepadanya mencakup risalah dan nubuwwah-nya.”

 

Risalah adalah kumpulan pemberitahuan yang mewajibkan manusia terikat dengannya, meliputi: ibadah, hukum dan akhlak. Adapun nubuwwah yakni kumpulan penjelasan-penjelasan yang memuat pengetahuan alam, sejarah, dan bukti hakikat eksistensi objektif.

 

Dengan kata lain nubuwwah memuat penjelasan atas hakikat kejadian obyektif dan membedakan haq dan bathil. Sedangkan risalah meliputi kaidah-kaidah tabi’at kemanusiaan dan membedakan halal-haram.

 

Menurut Shahrur, kerisalahan Muhammad Saw identik dengan ayat-ayat Muhkam karena berkaitan dengan hukum. Untuk memahaminya adalah dengan cara ditafsirkan. Berbeda dengan kenabian yang berhubungan ayat-ayat Mutasyabihat yang maknanya dinamis. Ayat-ayat ini tidak memiliki asbabun nuzul, maka hanya bisa ditakwilkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan karena sesuai dengan fenomena obyektif alam. Dalam bidang ilmu kelaman dilakukan oleh Agus Purwanto melalui bukunya Ayat-Ayat Semesta yang mencoba menjadikan Alqur’an sebagai epistemologi sains.

 

Dengan demikian, sebagaimana penjelasan Allah, bahwa ayat-ayat Mutasyabihat hanya dapat dipahami oleh al-rasikhuna fi al-‘ilm. Dalam pemahaman klasik, tokoh sahabat seperti Ubay ibn Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan sejumlah sahabat lainnya, tabi’in dari golongan ahlusunnah berpendapat bahwa waw pada kalimat “warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” adalah waw isti’naf.

 

Pendapat tersebut didukung oleh hadits yang dikeluarkan Abdurrazzak dalam tafsirnya dan Hakim dalam kitab Mustadrak yang berasal dari Ibn Abbas bahwa ia membaca “wama ya’lamu ta’wilahu illallah, wayaqulur rosikhuna fil ‘ilmu amanna bihi”.

 

Pendapat yang kedua yang mengatakan ayat mutasyabih dapat diketahui maknanya oleh orang yang mendalam ilmunya beralasan bahwa “waw” yang ada pada kalimat “warrasikhuna fi al-‘ilmi” adalah “waw athaf” bukan “waw isti’naf” yang di’athafkan pada kalimat sebelumnya, yaitu kalimat “illallah” dan kalimat “ya quluna” menjadi “hal”.

 

Kesimpulannya adalah “Allah” dan “orang-orang yang mendalam ilmunya” mengetahui maknanya (ayat mutasyabih yang dalam bahasa Shahrur disebut Alqur’an).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, yang mengetahui ‘ilm (sains) adalah para ulama, bukan ahli agama. Dapat dinyatakan bahwa ulama adalah para pakar, ilmuan, dan filsuf yang memahami fenomena alam dan social serta memiliki kedekatan dan ketundukan kepada Allah.

 

Penulis: Azaki Khoirudin

Ilustrator: Ni’mal Maula