Hukum pelecehan verbal masih jarang diketahui oleh banyak orang sehingga banyak yang menganggap catcalling hanyalah gurauan.

Topik terkait pelecehan kaum perempuan tidak pernah luput dari sorotan publik. Belum lama ini media sosial kembali digemparkan dengan kasus pelecehan verbal yang ditujukan pada kaum perempuan.

Jagat maya ramai akan pembicaraan pelecehan verbal yang diviralkan oleh cuitan twitter akun @jerakah.

Cukup disayangkan, guyonan mesum sering kali dianggap wajar oleh sejumlah kalangan. Padahal, perbuatan tersebut masuk dalam kategori pelecehan verbal atau yang sering dikenal dengan istilah catcalling.

Perbuatan catcalling tidaklah dibenarkan, bahkan pelakunya dapat juga dikenakan hukum pelecehan verbal yang termasuk dalam hukuman pidana.

Tentang Catcalling

Pemaknaan dari catcalling sendiri adalah sebagai bentuk ekspresi, tindakan ataupun penggunaan kata-kata yang tidak pantas (mesum), bersifat menggoda, dan menurunkan martabat perempuan.

Dari hasil Survei Koalisi Pelecehan Ruang Publik Aman, pada tahun 2022 ini sebanyak 83% perempuan telah mengalami pelecehan seksual.

Jumlah total responden 3539 perempuan, yang 3000 diantaranya menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Seperti halnya yang dialami oleh istri dari pemilik akun @jerakah, yang sempat viral cuitan Twitternya.

Istri saya mendapat pelecehan berupa chat di grup pertemanan kantornya, Sabtu, (13/8) silam.

Tidak hanya ramai di Twitter saja, postingan dalam akun instagram @folkative mendapatkan ratusan ribu like seusai memposting gambar bertuliskan,

Sukarela jadi model untuk kantor, karyawati ini dilecehkan di grup WA”, Senin (15/8).

Salah satu influencer @daviq-rizal ikut berkomentar,

Ah cuma bercanda, baper menjadi kata yang sering diucap pelaku pelecehan untuk mewajarkan. Tempuh jalur hukum biar kapok”, komentarnya (15/8).

Lantas bagaimana pandangan hukum terkait fenomena tersebut? Apa benar pelakunya dapat dikenakan hukum pelecehan verbal?

Hukum Pelecehan Verbal

Di Indonesia pelecehan verbal masuk dalam ranah tindak pidana. Pelakunya dapat dijerat pasal pencabulan Pasal 289 sampai 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 310 hingga 315 KUHP tentang perbuatan yang tidak menyenangkan.

Sanksinya sendiri diatur dalam pasal 218 KUHP yakni pelaku pelecehan verbal di tempat umum akan dijatuhi hukuman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan.

Sebagaimana contohnya ketika pelaku berkomentar vulgar atau berbau pornografi kepada lawan jenisnya, baik itu disampaikan secara langsung maupun melalui platform digital seperti WhatsApp, maupun komentar di media sosial seperti berkata “sexy”,“montok” dapat dijerat pasal 315 KUHP.

Pun demikian bagi pelaku yang sengaja di depan orang lain melanggar kesusilaan, bisa dijerat hukuman penjara paling lama 4 bulan.

Tidak hanya itu saja bahkan tindakan bersiul bisa masuk dalam kategori pelecehan verbal apabila digunakan untuk menggoda perempuan.

Catcalling dapat dijerat ke dalam pasal 289 – 296 KUHP termasuk perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan.

Dengan aturan yang sudah jelas, maka sangatlah disayangkan apabila masih ada beberapa oknum yang mewajarkan adanya guyonan mesum. Karena selain melanggar aturan, catcalling juga memberikan efek buruk bagi korban.

Dampak Catcalling

Dampak buruk diantaranya seperti adanya rasa malu, rasa tidak aman, bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental bagi korbannya.

Telaah dari banyaknya pro-kontra terkait guyonan mesum atau catcalling tersebut, sebagai masyarakat yang taat hukum kita harusnya lebih bijak dalam bertindak dan berucap.

Saran saya, sangatlah diperlukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan untuk menghentikan eksistensi catcalling. Apalagi melihat dari banyaknya dampak negatif yang ditimbulkannya.

Maka marilah kita saling menjaga kehormatan satu sama lain. Sehingga, diharapkan mampu tercipta lingkungan yang suportif, aman, dan nyaman.

Editor: Lail

Gambar: Pexels