Nyaris tak ada yang gratis di dunia ini. Air bayar, listrik bayar, bahkan informasi dari media di internet yang mungkin dianggap berita gratis pun sebenernya kita bayar dengan berbagai skema.
Salah satu ganjaran yang harus kita bayarkan pada media gratisan adalah kekecewaan dan kekesalan. Seperti yang saya rasakan tatkala melihat keributan soal berita Detik yang membahas kehidupan seks Nora, istri Jerinx SID beberapa waktu lalu. Tanpa konfirmasi dan nirsubstansi.
Baru-baru ini juga muncul kembali berita sensasional tentang Aprilia Manganang (mantan atlet voli wanita) yang menderita hipospadia. Alih-alih bersimpati atau mengedukasi tentang penyakitnya, ada media yang memilih fokus pada sisi-sisi yang merendahkan penyintas. Misalnya dengan fokus memberitakan ukuran kelaminnya.
Suatu kali saya pernah bertanya dengan pengelola media online lokal tentang jumlah tulisan yang ditayangkan tiap harinya. Darinya saya tahu bahwa media lokal yang peringkat Alexanya di angka ribuan saja menayangkan lebih dari 50 tulisan perhari. Apalagi sekelas Detik yang bercokol di peringkat 10 besar Indonesia, pastinya ratusan tulisan. Saya sebut tulisan karena tak semuanya berita dan produk jurnalistik.
Membayangkan ratusan tulisan perhari membuat saya yakin banyak proses verifikasi yang ditrabas. Seperti yang terjadi pada tulisan tentang Nora Alexandra. Ndilalahnya Mbak Nora itu vokal di sosial media, sehingga kejadian ini membuat Detik kelimpungan. Sebenarnya masih banyak artikel dengan kualitas serupa.
Detik dan kebanyakan media online yang bebas akses lain yang memproduksi ratusan tulisan perhari ini bergantung pada traffic web. Jumlah tayangan bagaikan portofolio untuk pengiklan, sponsor, dan pihak-pihak pemilik modal. Sedangkan pembaca ya hanya dianggap objek belaka.
Pembaca tak membayar sepeserpun hingga susah mengubah persoalan struktural di tubuh media-media tersebut. Mungkin ada regulasi Dewan Pers, UU Pers, hingga Kode Etik Jurnalistik yang menjadi batasan. Tapi kembali lagi, media butuh traffic sebagai portofolionya. Apalagi bagi media dengan ciri khas cepat, trengginas, dan ugal-ugalan.
Tentu ada sebagian media yang masih memperhatikan kedalaman informasi. Media yang demikian tentu trafficnya kalah jauh ketimbang yang cepat dan produktif soal kuantitas tulisan. Namun mereka masih bisa diharapkan.
Ada berbagai alternatif model bisnis buat media online, selain menggantungkan diri pada lalu lintas penayangan. Saya jelas bukan ahli dalam menjabarkan semua detail itu. Tapi yang saya tahu, ada model yang cukup mengandalkan kontribusi pembacanya dalam bentuk uang.
Bukan mau endorse, tapi beberapa waktu lalu saya melihat Dea Anugerah, penulis cum jurnalis mempromosikan kanal premium berbayar di media tempat kerja barunya. Kanal itu menawarkan ragam jenis tulisan, mulai dari laporan khusus hingga konten gaya hidup.
Tentu Kumparan, melalui Kumparan Plus tempat Dea bekerja kini bukanlah media Indonesia pertama yang menggunakan model berbayar itu. Kompas, Tempo, hingga Jakarta Post adalah contoh pionir media berbayar di Indonesia. Kebanyakan media yang mematok tarif langganan untuk kontennya memiliki embrio media cetak, namun sebagian betul-betul berangkat dari konsep media online.
Dari pengalaman saya langganan sebuah media online berbayar, belum pernah saya menemukan judul clickbait atau berita sensasional. Rata-rata cukup dalam dan enak dibaca. Mereka tak keburu-buru dan punya lebih banyak jeda untuk verifikasi seperti halnya koran.
Barangkali kunci dari itu semua karena mereka tidak bergantung pada kompetisi di mesin pencari. Sumber uang mereka dari pembaca dan rasa tanggung jawab lebih muncul. Bagi pembaca pun, untuk komplain sesuatu yang betul-betul mereka bayarkan terasa lebih enak.
Mungkin zaman dulu orang terbiasa membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan informasi melalui koran. Masalahnya, sebagian dari kita, terutama yang tumbuh besar di era yang sudah mapan teknologi belum terbiasa dengan membayarkan informasi. Berita gratis jadi pilihan.
The Media Insight Project merilis data bahwa 53% orang dewasa di AS membayar untuk sebuah berita (tidak termasuk tv berbayar). Jumlah tersebut terbagi dalam kategori langganan media cetak, konten media digital, serta donasi pada media publik . Data tersebut menandakan besarnya kebutuhan dan kesadaran partisipasi publik pada sebuah informasi yang dipercayainya disana.
Tentu hal itu sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan perekonomian di masing-masing negara. Dan mungkin di Indonesia konsep berbayar itu masih belum mapan.
Hal yang jelas adalah kadang kala media butuh bantuan pembacanya. Kalau ada media online yang sudah memberi berita gratis akses dan artikelnya berkualitas, maka dukung dengan sering-sering mengunjungi dan membaca tulisan di webnya.
Meski belum banyak jadi pilihan, sekarang iklim media online dengan sistem berbayar sudah mulai berkembang, mungkin ini saatnya untuk mulai kita dukung dengan menyisihkan sejumlah uang rokok. Ketimbang terus mengandalkan media yang kerap bikin jengkel.
Kita kerap menyisihkan uang untuk sesuatu yang menghindarkan kita dari keresahan bukan? Kalau risih karena jerawatan terus menerus kadang kita mencoba merk pembersih wajah yang sedikit lebih mahal namun bikin nyaman. Tak ada salahya, mencoba model media berbayar untuk mengurangi risih akibat berita selangkangan. Tapi tentu, yang gratis-gratis itu tetap harus terus diawasi dan dipentung kalau kelewat batas lagi.
Comments