Saya di sini sedikit geram, kenapa sih, memaksa pemuda untuk menjadi petani? Kenapa nyuruh-nyuruh kaum milenial agar mau bertani? Kenapa harus bertani? Nggak hanya masyarakat, bahkan pemerintah sekalipun juga ikut-ikut mendorong, mengajak bahkan memaksa para pemuda untuk bertani.
Apakah karena alasan krisis regenerasi petani? Takut kekurangan ketahanan pangan? Atau mungkin karena takut kehilangan identitas bangsa sebagai negara agraris? Oleh karena itu, dipaksa untuk bertani.
Entah apapun alasan itu, menurut saya alasan yang sering digadang-gadang oleh publik masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan alasan saya untuk tidak memilih menjadi petani.
Di tengah gerakan maupun ajakan kaum pemuda untuk bertani, alias berprofesi petani, justru saya secara tegas untuk mendeklarasikan diri untuk menolak menjadi petani, khususnya petani padi. Meskipun saya terlahir dari seorang petani dan hidup di lingkungan petani. Bahkan orangtua saya sendiri nggak berharap saya untuk menjadi petani.
Bukan berarti saya gengsi, ogah-ogahan, sok-sokan atau apapun itu namanya. Di sini saya nggak asal deklarasi belaka, atau sekadar nurut begitu saja dengan perintah orangtua. Melainkan ada alasan tertentu, yang melatarbelakangi saya untuk tidak memilih menjadi petani.
Harga jual padi/beras yang selalu dipermainkan oleh pasar
Ini salah satu faktor umum yang sering terjadi di dunia perekonomian pasar. Jadi, kalau di tempat tinggal saya atau mungkin juga berlaku di beberapa tempat lain, ketika sedang musim panen padi, justru harga padi anjlok derastis. Harga padi di pengkulak terjual murah meriah.
Jika harga di hari-hari biasa sekitar enam ribu rupiah keatas perkilonya, maka ketika musim panen justru harga padi turun hingga harga tiga ribu sampai empat ribu rupiah perkilonya. Mungkin bagi kalian ini selisih dua ribuan saja, tapi ketahuilah ketika dua ribu itu dihitung per kuintal atau bahkan per ton, maka petani cukup rugi banyak. Apalagi kalau panen menurun, plus harga bibit maupun pupuk meningkat.
Duh, sangat-sangat menyusahkan nasib menjadi petani, itu.
Ya, memang sih, jika menurut hukum ekonomi, itu cukup dibenarkan. Ketika persedian produk melimpah, maka harga akan turun, begitupun sebaliknya jika persediaan menurun maka harga akan naik.
Meskipun begitu, mbok ya, jangan ngawur-ngawur untuk menurunkan harga jual padi. Petani itu, juga manusia.
Pemerintah malah impor beras
Kampretnya lagi, dan yang membuat saya nggak memilih untuk menjadi petani adalah pemerintah justru impor beras dari luar negeri, di tengah para petani sedang meningkatnya panen padi.
Di panen padi pertama tahun 2021 ini, sekitar bulan Februari dan Maret, justru pemerintah melakukan impor beras dari luar negeri. Alasannya sih, untuk jaga-jaga persediaan beras di masa pandemi yang berkepanjangan ini.
Namun, menurut saya, entah apapun alasan pemerintah tersebut, justru itu sangat-sangat merugikan para petani. Alasan turunnya harga padi di pengkulak di daerah saya, salah satu faktornya adalah kelakuan impor beras yang dilakukan pemerintah di kala petani sedang panen. Sehingga persediaan padi melimpah ruwah dan berimplikasi pada turunnya harga padi di kalangan pengkulak.
Lahannya mulai terjajah oleh industri dan pembangunan nasional
Menurut saya, ini bukanlah pemberitaan yang cukup baru dan jarang terjadi. Justru sangat banyak sekali pembebasan lahan pertanian oleh mereka para pemodal yang ingin mendirikan industri maupun pembangunan nasional
Nggak usah jauh-jauh ke desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah yang pembebasan lahan pertaniannya penuh kontroversial di sosial media baru-baru ini. Di tetangga kecamatan saya sendiri, lahan pertanian dipangkas demi pembangunan tol nasional. Bahkan di desa saya sendiri, sudah mulai dijajah oleh berbagai industri yang memakan lahan-lahan pertanian penduduk setempat.
Meskipun pembebasan lahan dilakukan dengan cara membeli lahan tersebut, namun jikalau semua dibeli, dipangkas maka semakin sedikit lahan pertanian yang ada. Bahkan bisa saja jika semua dipenuhi oleh pembangunan dan industri, maka menjadi petani hanyalah mitos belaka.
Nyuruh-nyuruh menjadi petani, tapi lahannya mana, pak?
Salahsatu profesi yang musiman
Mungkin ini alasan faktor alam yang nggak bisa diganggu gugat lagi. Kecuali, ada teknologi canggih seperti “mesin pembuat hujan” milik Doraemon yang bisa mengatur hujan atau tidaknya suatu wilayah.
Khususnya di daerah saya, di Gresik, bertani padi hanya bisa dilakukan di musim hujan saja, yang hadir sekitar enam bulan sekali setiap tahunnya. Selama musim hujan tersebut, para petani di daerah saya hanya bisa panen dua kali saja, mungkin bisa tiga kali kalau memang sedang beruntung.
Sedangkan, enam bulan selebihnya merupakan musim kemarau yang nggak ada air sama sekali untuk pertanian. Boro-boro air buat pertanian, air buat kehidupan sehari-hari saja kami masih harus mengebor ke dalam tanah sekian meter, untuk menemukan sumber mata air. Pasalnya, PDAM di daerah saya masih belum terjamah oleh masyarakat.
Nah, ketika musim kemarau ini pula para petani nggak bisa ngapa-ngapain dengan lahan pertaniannya, selain membiarkannya begitu saja, alias menganggur. Jikalau mengandalkan menjadi petani saja, dengan durasi kerja yang musiman tersebut, lantas ketika sedang musim kemarau mau dapat penghasilan dari mana?
Sebagai penutup, saya berpesan pada siapapun yang memaksa kaum milenial untuk bertani. Kalau memang mau kaum milenial bertani, maka selesaikan terlebih dahulu berbagai masalah di atas. Jika nggak mau tau dengan masalah di atas, maka sama saja kalian membunuh kami secara perlahan.
Editor: Nawa
Gambar: Good News From Indonesia
Comments