Kira-kira sejak kata “feminis” dan “feminisme” sering muncul di media sosial, saya terus menaruh perhatian padanya. Jujur saja, awalnya kaget juga melihat banyak sekali perempuan menyuarakan pendapatnya tentang isu gender tertentu. Iya, saya memang hidup di lingkungan yang tidak tersentuh oleh pendapat perempuan.
Menariknya, beberapa gagasan mereka tentang kesetaraan gender saya pikir memang diperlukan dan sangat masuk akal. Misalnya, membiarkan wanita berkarir setinggi dan sejauh apa pun yang ia mau, atau memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam menjadi pemimpin—kalau laki-laki bisa, perempuan pun bisa. Di sisi lain, ada juga gagasan yang menurut saya berlebihan, seperti misalnya, mengatakan bahwa orang Indonesia menganggap ibu-ibu seperti hewan ternak karena bepergian menggunakan truk.
Emmm… serius, nih?
Saya pikir, Indonesia memang sudah sangat patriarki dan misogini, namun pikiran seperti menganggap perempuan hewan ternak yang pantas diangkut menggunakan truk sangat enggak Indonesia banget. Apalagi untuk masyarakat di desa dan kota kecil.
Diskursus Feminisme
Semakin hari, diskursus mengenai feminisme di media sosial terus berlanjut dan makin beragam. Para feminis mulai menyasar beberapa hal yang menurut mereka memang perlu dibenarkan. Saya juga mulai mengikuti tulisan-tulisan dari penulis feminis seperti Kalis Mardiasih dan yang lainnya. Namun, jujur saja, kadang-kadang memang ada gagasan yang bikin saya bingung. Dari kebingungan itu lah saya jadi penasaran, sebenarnya tujuan inti dari feminisme itu apa? Apa arti feminisme? Bagaimana saya harus memandang feminisme dewasa ini?
‘A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis’
Buku berwarna merah muda dari Adichie ini kemudian menarik perhatian saya bahkan sejak dari judulnya: ‘A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis’. Dalam KBBI, manifesto berarti pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok. Seperti arti manifesto tersebut, buku ini juga mengungkapkan tujuan dan pandangan seorang Chimamanda Adichie. Singkatnya, buku ini memuat feminisme versi Adichie.
Menurut Adichie, isu kesetaraan gender—entah itu patriarki atau misogini—merupakan budaya yang diciptakan oleh manusia dan diturunkan sejak ribuan tahun yang lalu. Zaman dulu, menurut Adhicie, kekuatan fisik sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup dan menjadi pemimpin sebuah kelompok.
Namun saat ini, dengan bantuan teknologi, kekuatan fisik enggak lagi menjadi hal yang utama. Karena itu patriarki dan misogini sudah sangat, sangat, sangat kadaluarsa. Maka pemikiran bahwa perempuan tidak bisa setara dengan laki-laki sudah seharusnya hilang saat ini. Dan ini memang benar adanya. Alasannya, karena “kita telah berevolusi. Tetapi ide-ide kita tentang gender hampir sama sekali tidak berubah.”
Singkatnya, kita terus saja merawat budaya yang mengharuskan laki-laki menjadi kuat dan menjadi pemimpin bahkan setelah kita menciptakan segala teknologi canggih.
Saya sempat berpikir, kita seringkali menyebut zaman primitif untuk merujuk pada ribuan tahun lalu karena merasa teknologi saat ini sudah sangat canggih. Tapi secara enggak sadar, kita telah menjadi manusia primitif dengan merawat budaya nenek moyang kita (patriarki, misogini-red).
Kesenjangan Gender Bahaya bagi Laki-laki maupun Perempuan
Saya setuju dengan pernyataan yang ada dalam blurb buku ini, bahwa kesenjangan gender berbahaya bagi laki-laki ataupun perempuan. Ya, coba bayangkan, sekarang laki-laki diwajibkan menjadi manusia versatile. Mau nggak mau, harus mau. Titik.
Sedangkan pada kenyataannya, manusia hanya bisa menguasai beberapa bidang saja. Biasanya, kalaupun bisa menjadi versatile, hanya sekadar bisa atau tahu. Enggak sampai jago. Sebaliknya, perempuan yang benar-benar punya kemampuan dan mau melakukan hal-hal lain yang enggak berhubungan dengan perempuan, justru dipersulit langkahnya. Nah, bukankah akan lebih baik jika baik laki-laki atau perempuan boleh melakukan apa pun selama ia benar-benar mampu?
Zaman sudah sebegitu majunya dan kita masih memelihara budaya purba. Ingat ya, “Budaya tidak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya. Maka jika kemanusiaan penuh wanita bukan budaya kita, maka kita bisa dan harus menjadikannya budaya kita.”
Adichie, dalam buku ini, nggak hanya mengajak manusia dewasa untuk mengubah budaya purba. Ia juga mengajak para orang tua untuk membesarkan anaknya dengan budaya yang lebih adil. Satu hal yang, saya kira, sangat penting karena bisa mempercepat terjadinya perubahan budaya.
Bayangkan, jika semua anak kecil dibesarkan dengan budaya yang mampu menciptakan keadilan, mungkin hanya butuh waktu seratus-dua ratus tahun untuk menghapus patriarki dan misogini dari bumi ini.
‘A Feminist Manifesto’: Kecil tapi Daging
Saya sangat merekomendasikan buku ini pada siapapun yang ingin belajar tentang feminisme. Karena terjemahannya sangat nyaman dibaca, bahasanya enggak terlalu kaku, bukunya tipis—kurang dari 100 halaman—dan juga karena buku ini mengajak kita untuk melihat manusia secara utuh, tanpa memikirkan jenis kelaminnya.
Penulis: Gilang Oktaviana Putra
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments