Mau berharap apa dari organisasi mahasiswa yang kerjanya gitu-gitu aja? Diskusinya menuhankan masa lalu, membahas politik tidak sesuai porsi, dan rutinitas rapat yang unfaedah.
Sebagai mahasiswa baru, saya dihantui oleh beberapa pilihan: menjadi mahasiswa yang akademis, organisatoris, atau mas-mas aktivis si-paling-peduli-masyarakat. Hal ini sudah jadi keniscayaan saat masuk kuliah, perdebatan mana yang lebih baik sudah jadi sego jangan yang barangkali sulit untuk disimpulkan. Ya hanya mbulet di tiga opsi itu saja. Mahasiswa akademis yang menuhankan angka, anak organisasi ‘si paling ngerti skill dunia kerja’, dan sekte mahasiswa aktivis dengan narasi advokasi yang utopis.
Beruntungnya, saya banyak bersinggungan dengan mereka yang terlibat aktif dengan organisasi mahasiswa aktivis. Tak perlu disebutkan nama organisasinya, lha wong benderanya itu-itu aja. Gini deh, kita pakai politik identitas warna: ada organisasi yang identik dengan warna kemasan Blue Band, kemasan sabun cuci piring Sunlight, dan kemasan roti Roma Kelapa. Hanya dari warna saja saya yakin pembaca paham organisasi apa yang saya maksud. Ketiga organisasi pergerakan ini punya grand design tujuan suci yang sama. Hanya langkah untuk mewujudkannya saja yang sia sia berbeda.
Mungkin ormawa (panggilan sayang untuk organisasi mahasiswa) bisa berbangga hati dengan capaian masa lalu yang luar biasa hebat, reputasi alumni yang mengagumkan, relasi politik praktis yang menjanjikan, dan hal-hal suci yang sering mereka glorifikasi. Ormawa baik internal maupun eksternal barangkali harus sadar kalau mereka mulai ditinggalkan, banyak agenda yang irelevansinya tinggi masih mereka pertahankan. Mahasiswa sekarang udah ngga butuh jargon normatif yang tong kosong ngga bunyi bunyi. Mahasiswa zaman now butuh suatu wadah yang nyata dan berwujud.
Data golput pemilihan presiden mahasiswa kampus adalah bukti nyata irelevansi kerja ormawa internal akhir-akhir ini, meski sistem pemilu sangat dimudahkan karena teknologi digital, tinggal klak-klik saja suara kita bisa tersampaikan guna memberi warna demokrasi kampus. Anehnya, dengan kemudahan yang ada, angka golput semakin ke sini malah semakin tinggi. Kita ambil data dari kampus ternama Yogyakarta, UGM. Dikutip dari data pemilwa KM UGM 2018-2021, angka golput naik signifikan pada 2018 (51,83%), 2019 (58,5%), 2020 (53,28%) dan puncaknya 2021 (73,4%).
Irelevansi organisasi mahasiswa eksternal (baca: pergerakan) akan dibuktikan dengan beberapa keluh kesah sahabat saya yang sedikit banyak terlibat dengan kerja-kerja organisasi pergerakan. Kaderisasi yang dilakukan begitu terpola dan terlihat gitu-gitu aja. Harusnya ada inovasi pola kaderisasi yang kreatif nan seru buat anggota baru, tentu tanpa meninggalkan nilai fundamental dalam organisasi tersebut. Intervensi demisioner yang cukup tinggi, kajian dan event yang dilakukan cenderung menuhankan masa lalu (menuhankan masa lalu atau terjebak romantisme kejayaan masa silam), rutinitas rapat yang template tapi dibahas sampai larut malam, senioritas masih tinggi. Ah, membosankan!
Pola mahasiswa zaman sekarang kalau mau ikut organisasi ya yang pasti-pasti aja, udah males berurusan dengan ego senior yang tinggi. Mereka lebih tertarik dengan kegiatan yang benefit valuenya sesuai dengan industri/karier zaman now, ketimbang ikut diskusi buku buku barat yang sukar dipahami dan serba ndakik-ndakik, mending ikut magang di beberapa platform digital yang sekarang mudah sekali kita temui. Benefit dan value yang mereka tawarkan jauh lebih jelas dan relevan dengan kebutuhan industri. Toh, kita juga punya pilihan untuk membaca buku-buku pergerakan yang sering didiskusikan ormawa di kamar kos.
“Ya tidak pecel-to-pecel kalau kita membandingkan ormawa dengan magang industri. Ormawa tidak money oriented. Kami murni berproses untuk membangun karakter anggota, mengubah cara pandang yang pragmatis bahwa tidak semua hal harus tentang uang. Lebih dari itu, ormawa menawarkan kepedulian, kebersamaan, integritas, kesadaran sosial, berpikir kritis, dan adaptif dengan perubahan,” ucap si paling aktivis. Memang tidak adil kalau dibanding-bandingke, tapi ekosistem organisasi dan benefit yang dilakukan oleh ormawa jelas tertinggal jauh dibandingkan platform digital yang biasanya menyediakan wadah magang untuk mahasiswa.
Sebenarnya, sudah banyak organisasi mahasiswa internal (BEM) yang sadar dengan hal ini. Mereka mulai mengembangkan anggotanya agar relevan dengan zaman, pembagian kementrian sesuai minat dan bakat, kebebasan anggota untuk memilih bidang sesuai passion masing masing, mulai menjelaskan hal-hal konkret dan logis, membahas politik sesuai porsi, dan menjunjung tinggi kestabilan kuliah di atas segalanya. Yang masih saya pertanyakan, mau sampai kapan ormawa pergerakan punya visi dan misi yang sulit diukur?
Saya percaya organisasi mahasiswa kampus bisa berubah dan relevan dengan zaman asal mau merekontekstualisasi internalnya masing-masing, bisa lebih realistis dalam beberapa hal: mulai meninggalkan narasi utopis dan normatif, berhenti mengkampanyekan ‘demi bangsa dan negara’ kepada anggota baru, bisa adaptif dengan pasar dan situasi saat ini, meninggalkan tradisi lama yang tidak relevan dan memperbaiki branding agar tidak dicap si tukang demo dan teriak-teriak nggak jelas. Kalau nggak mau berubah ya nggak apa-apa, wong ini pilihan.
Udah gini aja, saya mau baca buku Mas Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Sekian, salam pergerakan!
Editor: ciqa
Gambar: google
Comments