Media baru berperan penting di tengah pusaran post-truth atau era di mana fakta-fakta objektif sering kali diabaikan atau disalahartikan demi mempengaruhi opini publik. Di satu sisi, media baru memberikan akses yang lebih luas kepada individu untuk mengungkapkan pandangan mereka, membagikan informasi, dan terlibat dalam diskusi publik. Namun, dalam era ini, media baru juga menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks, informasi palsu, dan narasi yang manipulatif. Berbicara post truth, tak puas jika tidak kulik lebih dalam arti sebenarnya. Secara etimologi, istilah “post-truth” berasal dari Bahasa Inggris, dari kata dasar “post” dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “pasca” atau “setelah”, sedangkan “truth” berarti “benar”. Apabila kata-kata tersebut digabungkan, dapat diberikan pemaknaan bahwa “post-truth” mengacu pada kondisi setelah kebenaran atau pasca kebenaran. Sedangkan Istilah “post-truth” pertama kali diangkat dan dikenal secara luas melalui esai yang ditulis oleh Steve Tesich pada tahun 1992 dan dipublikasikan dalam harian The Nation. Dalam esainya, Tesich mengidentifikasi fenomena di mana kebenaran objektif tidak lagi menjadi fokus utama dalam perdebatan publik. Istilah “post-truth” digunakan untuk merujuk pada situasi di mana opini, emosi, dan narasi yang memanipulatif seringkali lebih berpengaruh daripada fakta-fakta yang dapat diverifikasi secara objektif.
Pemanfaatan media baru dalam inovasi teknologi telah mengubah aliran informasi menjadi cepat dan berlimpah. Pola komunikasi yang sebelumnya linier mulai digantikan oleh pola komunikasi simetris, di mana interaksi dapat terjadi secara real-time tanpa memandang batasan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, di tengah pusaran post-truth tanggung jawab media baru menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan terverifikasi menjadi semakin krusial, media baru perlu mengutamakan prinsip jurnalisme yang etis, melakukan verifikasi fakta sebelum mempublikasikan berita, serta memisahkan opini dari fakta. Karena post-truth menggambarkan situasi di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan kepercayaan pribadi (Blog, 2019). Lebih lanjut Mc Intyre (2018) menyebut bahwa post-truth as “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.” (pasca-kebenaran “berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi). Dalam konteks media baru, faktor-faktor emosional dan keyakinan pribadi seringkali menjadi lebih penting daripada fakta-fakta objektif dalam membentuk opini publik. Pesan-pesan yang memicu emosi kuat, seperti rasa takut, kemarahan, atau kebencian, dapat dengan mudah menyebar dan memengaruhi persepsi masyarakat. Oleh karenanya, orang cenderung memilih dan berinteraksi dengan konten yang sejalan dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka sendiri, mengabaikan informasi yang mungkin bertentangan atau tidak mendukung pandangan mereka.
Sebagai konsumen informasi, hemat penulis perlu upaya yang dilakukan untuk mengatasi post-truth dalam media baru melibatkan peran berbagai pihak, termasuk pengguna media, platform media sosial, dan lembaga penyedia berita.
Pertama, Pendidikan dan literasi media, pendidikan yang memfokuskan pada literasi media dan informasi dapat membantu individu mengembangkan keterampilan kritis yang diperlukan untuk membedakan antara fakta dan opini, serta untuk mengidentifikasi dan menanggapi informasi yang tidak akurat.
Kedua, Verifikasi fakta, lembaga jurnalistik dan organisasi independen dapat berperan dalam memverifikasi fakta dan menyediakan informasi yang akurat kepada publik. Inisiatif seperti fact-checking dan pemantauan kebenaran berita (news monitoring) dapat membantu mengungkap dan melawan disinformasi.
Ketiga, Transparansi algoritma, platform media sosial perlu meningkatkan transparansi dalam algoritma mereka. Pengguna harus diberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana konten dipresentasikan kepada mereka dan bagaimana algoritma memengaruhi pandangan mereka.
Dan yang terakhir, Kerja sama lintas sektor, kerja sama antara pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga jurnalistik, dan platform media sosial sangat penting. Dengan bekerja sama, mereka dapat mengembangkan pendekatan yang holistik untuk menghadapi post-truth dalam media baru.
Editor: Bunga
Gambar: Google
Comments