Sejak 2014 lalu saat saya diajarkan oleh Ibu dosen mengenai politik, rasanya baik-baik saja. Nggak ada pemaknaan politik itu korupsi, kotor, dan macem-macemnya. Pikiran saya juga fine-fine saja, masih bisa bercengkrama sama persoalannya. Tapi kok berbeda dengan hari ini ya.
Berbicara soal politik, apa yang terlintas dalam pikiran kalian para pembaca yang budiman? Uang, kotor, koruptor. What else? Nah, mari kita coba singkirkan kesan-kesan negatif itu dulu. So, lets Move!
Waktu dulu jaman kuliah, saya sering bertanya pada dosen ilmu politik juga dosen kebijakan publik, pertanyaannya soal isu-isu terkini. Pada akhirnya, jawaban-jawaban mereka selalu kembali pada “ya itulah politik”.
Kan bukan demikian seharusnya, bagaimana kita ini mau optimis bernegara sih? Kalau melihat pemerintah hari ini, bagian mana yang masih bisa kita percayai? Let’s say kita mau masa bodoh sama negara. Tetap tidak bisa kan? kita ini orang yang pernah bersekolah masa iya tidak ada maknanya jadi warga negara. Masa iya kita yang masih bernurani ini masa bodoh sama negara?
Kalau berbicara soal-soal politik, ada banyak ragam. Diantaranya politik itu sendiri, politisi, partai politik, dan elitnya.
Buat kamu yang pernah belajar Pengantar Ilmu Politik, seharusnya tahu arti politik yang ASLI, yakni “kepentingan”. Hal itu disampaikan oleh Meriam Budiarjo dalam buku tebal warna birunya berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik. Disitu juga dijelaskan kalau konteks kepentingannya diarahkan untuk kebaikan dan perbaikan. Jadi seharusnya tidak ada yang salah dengan istilah ini.
Partai Politik Tidak Sekotor Itu
Terus, apa itu partai politik (parpol)? Yang biasa publik terima hari ini, parpol adalah tempat bagi-bagi uang, perputaran uang. Tetapi faktanya tidak selalu demikian. Di tingkatan bawah (tingkatan DPC, ranting dan partisipan parpol lainnya) kalau kalian ketahui banyak sekali loyalis partai. Mereka ada yang tidak mendapat sepeser pun.
Anak-anak muda di parpol juga beberapa masih bersemangat mempersiapkan dan membangun diri. Mereka asyik kalau diajak diskusi Produk Bruto Daerah, Kebijakan Kota. Kalau ada kenalan, coba saja ajak diskusi. Yang penting kamu jangan anti sama mereka, ya.
Kalau kita kembali ke hakikat fungsi parpol, kata Ramlan Soerbakti itu ada tiga. Diantaranya sosialisasi, recruitment, dan komunikasi politik. Nah itu juga sangat relevan untuk kamu yang memiliki gagasan terhadap pasal dan kebijakan apa untuk bisa dititipkan ke mereka. Bagaimanapun, kalau kita bicara soal konteks pemerintahan, ada yang namanya infrastruktur dan suprastruktur.
Kalau yang disebut suprastruktur adalah Lembaga-lembaga yang dalam kategori Trias Politica-nya Motesque. Sedangkan infrastruktur itu salah satunya adalah kelompok kepentingan, dan salah satu kelompok kepentingan ini adalah parpol yang memiliki otoritatif komunikasi dengan elit di birokrasi.
Hal lain mengenai hakikat fungsi politik dimaknai oleh Frank J. Goodnow. Pada tahun 1900, penganut Wilsonian itu mengutarakan bahwa fungsi politik berkaitan dengan penetapan kebijakan negara atau tujuan dan keinginan negara (has to do with policies or expressions of the state will).
Tujuan negara itu ada di Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Ini perlu dibedakan antara UUD 1945, pembukaan UUD 1945 juga Undang-Undang.
Berbicara negara apa yang terlintas dalam pikiran kita? Kepentingan umum, masyarakat, khalayak, kebermanfaatan yang lebih luas, sesuatu yang luhur dan sakral. Atau kalau kamu yang belum tersentuh mendengar kata negara, coba playlist lagu-lagu kebangsaannya diputar lagi.
Mengenal Politisi dan Para Elit
Ada lagi istilah politisi. Politisi itu alon-alon alus. Eh bukan, politisi itu dia yang selesai terhadap persoalan ideologis partai politiknya dan berpengalaman terlibat dalam proses politik. Misalnya melakukan komunikasi lobbying dengan parpol lain, menjadi ketua tim pemenangan parpol. Kalau masih relawan pemenangan, itu belum bisa disebut politisi.
Jadi, supaya pikiran kita tetap sehat, kurang-kurangi menyebut orang dengan sebutan politisi. Karena tidak semua orang disebut politisi ya, apalagi dia yang masih mahasiswa terus terlihat dekat dengan beberapa politisi. Itu belum.
Kemudian siapa elit politik itu? Kalau kita melihat di model-model kebijakan publik ada yang disebut model elit-massa, yang mana disitu juga dijelaskan bahwa yang disebut elit adalah ia yang menduduki posisi di birokrasi sekaligus terdaftar sebagai anggota parpol.
Penulis: Tati
Ilustrator: Ni’mal Maula
Comments