Hujan tidak berhenti- berhenti, ada yang tetap tidak peduli meski ditunggu tapi aku peduli dengan diriku sendiri. Jadi kemudian aku menerabas hujan tidak berujung itu.
Yogyakarta yang mulai kemarau dan cerah sehari- hari menjadi hujan lagi pada Selasa di minggu kedua bulan Juni. Jas hujanku yang robek di lengan kanan kali ini tidak ada di jok motor. Meskipun jas hujan itu robek, tapi tetap saja bagian-bagian tubuh lain sempurna tertutupi. Karena begitu, sepertinya aku akan benar- benar kuyub kalau harus membelah kota saat itu juga.
Tapi sudah jadi kebiasaan mayoritas orang, kurasa, bahwa saat hujan kau menginginkan suatu yang panas dan berasap. Tentu banyak makanan dengan ciri-ciri seperti itu yaitu soto atau bakso.
Karena hujan juga adalah waktu-waktu yang menyenangkan untuk berdiam diri di rumah, menarik selimut, dan menonton tayangan favorit, jadi makanan yang lebih mudah diraih adalah mie instan.
Sekarang aku sedang tidak di rumah, dan bayangan-bayangan mengenai mie instan berputar-putar di kepala. Sedetik kemudian aku memutuskan untuk menerjang badai dengan jas hujan kekecilan entah milik siapa yang kutemukan di jok motor, dan pergi menuju warung mie mercon di tengah kota Yogyakarta.
Warung mie mercon yang kutuju terletak di komplek Masjid Gedhe Kauman. Karena letaknya berada di gang-gang tenang rumah warga, perjalanan ke sana lebih menyenangkan di tempuh dengan berjalan kaki. Kalau pun menggunakan motor, menurut pengalaman, kita akan disuruh menuntun kendaraan tersebut.
Aku menaruh motorku di parkiran Masjid Gedhe Kauman. Hujan masih deras-derasnya, aku menggunakan jas hujan yang kekecilan sebagai payung dan menerabas hujan. Keluar dari Masjid, aku belok ke arah kiri dan ke kiri lagi. Pada batang pohon di tikungan terdapat petunjuk arah “Mie Mercon ‘An-Nuur’.
Setelah mengikuti arah langkah jalan setapak, sebelum pada akhirnya belok ke kanan, aku masuk ke dalam komplek gang tenang melalui serupa plengkung gading kecil. Mie Mercon “An-Nuur” ada tepat beberapa langkah saja di sebelah kananku. Aku menyampirkan jas hujanku di kursi kayu dan mulai memilih-milih mie yang disediakan di depan pintu masuk.
Saat masuk ke dalam warung mie, aku langsung disuguhi suasana seperti pulang ke rumah nenek. Bangunan lawas tanpa diubah mengikuti alur warung kekinian, foto-foto lama, tulisan kaligrafi kuno, kalender polos, dan jam sederhana yang katanya berasal dari tahun 60-an. Bangunan yang tanpa usaha benar-benar terlihat keotentikannya.
Mie Mercon “An-Nuur” sebenarnya adalah warung mie instan dengan bumbu mercon yang terbuat dari cabai rawit yang dihaluskan. Ada tingkatan “Mercon” untuk Mie Instan dengan tingkat pedas sedang dan “Bom” untuk tingkat pedas gila. Sore itu, aku memilih Indomie Goreng Ayam Bakar Limau.
Ibu pemilik warung mie sedang makan siang yang terlambat, aku disuruh duduk menunggu. Saat-saat aku menunggu rasanya seperti pulang sekolah dan meminta nenek atau kakek memasakkan sepiring mie goreng sebab sudah kepalang lapar. Aku menunggu dengan tenang.
Aku memilih varian nyemek untuk mie ku saat itu, saat ditanya apakah aku mau yang pedas, aku menjawab “mau” tanpa ragu. Kupikir aku bisa mengatasi rasa pedasnya. Toh, cuaca di luar sedang hujan deras. Namun, meskipun begitu aku tidak memesan minuman hangat. Aku memesan es milo dan menyeruputnya pelan-pelan sebelum mie ku selesai dibuatkan.
Saat mie nya datang, aku juga tidak ragu langsung memakannya. Pada suapan pertama, rasa pedas langsung memenuhi rongga mulut. Tapi itu bukan rasa pedas yang tidak bisa kutangani, hanya saja saat itu perutku yang memang rawan akan masakan pedas langsung menghangat.
Saat pertama kali aku datang, pengunjungnya hanya terbagi menjadi tiga kelompok. Dua sejoli yang kepedasan dan menghabiskan banyak tisu di belakangku, sekelompok anak laki-laki yang katanya memang anak komplek situ, dan aku yang datang sendirian.
Aku menikmati mie merconku dengan tenang, memakannya dengan penuh nikmat sambil sesekali berhenti untuk menyeruput es miloku. Es milo yang dibuatkan oleh Ibu pemilik warung mie pas antara es dan airnya, milonya juga manis sedang dan dapat dipastikan tidak ditambahkan terlalu banyak gula. Saat itu rasanya seperti benar-benar memakan mie instan rumahan dengan es sampingan yang khas buatan sendiri juga.
Hampir selesai aku memakan mie milikku, aku mengobrol bersama pemilik warung mie tersebut. Kubilang aku datang dari kampus dan karena cuaca sedang hujan aku ingin memakan mie instan.
Di rumah, tidak setiap hari aku boleh makan mie instan, dan hari berhujan itu adalah awal minggu. Tidak ada jadwal makan mie instan di awal minggu. Katanya, warung Mie Mercon “An-Nuur” tersebut diambil dari nama Bapak pemilik warung tersebut yang bernama Nurdin dan sudah buka sejak tahun 2005. “Berarti sudah tujuh belas tahun?”, barangkali dahulu mie yang dijual variannya tidak sebanyak ini.
Namun, bertahan sampai saat ini berarti sudah ada perubahan varian-varian mie yang ditawarkan, dari yang ada menjadi tidak ada, lalu kembali ada, dan terus berganti seiring berjalan waktu.
Arena letaknya yang berada di komplek Masjid Gedhe Kauman dan dekat dengan asrama mahasiswa Mualimat maupun Mualimin, banyak pelanggan- pelanggannya adalah santri-santri yang bersekolah di sana. Katanya, bahkan ada santri yang datang dan reuni di warung mie tersebut sambil membawa keluarganya.
Waktu terasa begitu cepat karena yang mula-mula hanya anak dan remaja yang sedang menimba ilmu tersebut kemudian beranjak dewasa dan berkeluarga. Dahulunya, selain berjualan mie mercon, pasangan pemilik warung mie tersebut juga membuka warung kelontong yang menyediakan barang-barang kebutuhan warga serta santri.
Sebelum menjadi warung makanan, dahulunya tempat tersebut merupakan warung telepon. Pemilik warung, Ibu Wahyuni, ingat pada hari terakhir sebelum warung telepon tutup, pendapatan terakhir dari wartel tersebut adalah 600 rupiah. Setelahnya, warung telepon tutup karena tergantikan dengan handphone yang sampai saat ini akhirnya semua orang memilikinya.
Kembali ke warung Mie Mercon “An-Nuur’ di masa kini. Mie yang disajikan di warung tersebut tidak jauh berbeda dengan mie yang biasa ditemukan di warmindo-warmino yang pemiliknya adalah orang-orang Sunda. Hanya saja, warung Mie Mercon tersebut benar-benar spesialisasi mie dan hanya menjual mie.
Mie yang ditawarkan adalah mie instan berbagai merk dan varian yang dapat dipilih sendiri. Menurut pemilik warung mie tersebut, setiap harinya mereka dapat belanja sekitar sepuluh buah mie per varian. Tidak hanya mie yang beragam, minuman instan sachet yang ditawarkan pun beragam.
Satu porsinya, mie mercon tersebut dijual seharga tujuh ribu rupiah dan apabila menggunakan telur menjadi sepuluh ribu rupiah. Untuk minumnya rata-rata dapat dibeli dengan membayar empat ribu rupiah. Dengan uang kurang dari lima belas ribu, pelanggan sudah bisa menikmati sepiring atau semangkuk mie mercon yang lezat dengan minuman yang tidak kalah segarnya. Mie Instan nyemek yang tidak terlalu kering dan berkuah tersebut mengepulkan uap panas. Gigitan pertama akan membuat lidah tidak mau berhenti makan dan terus mengunyah. Begitu pun dengan minumannya yang minta segera dihabiskan.
Berbeda dengan warung-warung warmindo yang biasanya ramai dan riuh karena diperuntukkan sebagai tempat nongkrong, suasana di warung Mie Mercon “An-Nuur” ini ramai dengan cara yang berbeda. Orang-orang yang datang seperti bermain ke rumah saudara atau nenek sendiri dan rasa-rasanya satu sama lain saling terkait dan mengobrol. Pemilik warung mie yang suka mengajak ngobrol siapapun membuat orang-orang yang datang sendirian tidak merasa kesepian. Pun, kalau orang-orang mau kedamaian masih tetap bisa didapatkan.
Nuansa rumah nenek yang kuat menguar dari warung Mie Mercon “An-Nuur”. Setelah makan aku disuguhi video youtube yang tersambung dengan televisi, menayangkan liputan seorang youtubers mengenai warung mie ini. Pemilik warung mie sangat sumringah dan semangat menunjukkan ulasan bagus yang diberikan oleh youtubers tersebut, aku pun menggoda dengan bilang, “Wiihh, Ibu masuk tivi.” dan kami tertawa bersama. Saat hujan di luar reda, aku pamit.
Pemilik warung mie yang tahu aku tidak menggunakan alas kaki sama sekali kemudian memaksaku mengambil salah satu sendal mereka. Aku kemudian pergi dengan tersenyum.
Yogyakarta bekas hujan memang dingin tidak terkira, tetapi sore itu rasanya aku menghangat sehabis tertawa bersama dengan pemilik warung mie tersebut. Kurasa warung mie tersebut akan menyisakan luka dalam apabila kelak akan ada masanya harus tutup. Karena tidak hanya sebagai tempat mudik anak-anaknya, warung mie tersebut jadi rumah bagi banyak orang. Warung yang sangat kurekomendasikan karena suasana rumahnya.
Editor: Ciqa
Gambar: Dokumentasi penulis
Comments