Tentunya kiprah Muhammadiyah selama ini telah banyak memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik itu dari segi budaya ataupun yang lainnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya institusi pendidikan, rumah sakit, panti asuhan dan amal usaha yang didirikan oleh Muhammadiyah demi kemaslahatan umat. Sebab, menyitir Buya Syafii Maarif  “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya.”

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam modernis-reformis, yang tajuk utamanya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakannya juga dikenal sebagai gerakan pemurnian (puritanisme) dan pembaruan (tajdid). H.M. Federspiel, seorang Muhammadiyanis, menyatakan bahwa nama Muhammadiyah itu sendiri (yang berarti: para pengikut Muhammad) dan cita-citanya, sudah memberi indikasi bahwa gerakan ini memang bermaksud menghidupkan kembali ajaran-ajaran ortodoks Islam.

Dengan gerakannya yang puritan, Muhammadiyah sering dihadapkan secara vis-a-vis dengan budaya, khusunya budaya lokal Indonesia. Syahdan, persoalan kebudayaan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Muhammadiyah untuk senantiasa dibumikan sehingga menjamah dan dirasakan oleh kader-kader atau simpatisannya di akar rumput.

Pada tahun 2020, rencananya Muhammadiyah akan melangsungkan muktamar yang ke-48. Namun, karena merebaknya pandemi Covid-19 muktamar pun ditunda hingga kondisi yang memungkinkan.

Muhammadiyah dan Budaya di Masa Awal

Masih banyak yang menganggap bahwa Muhammadiyah anti terhadap budaya. Apakah ini hanya sekadar persepsi atau suatu bentuk ketidaksukaan terhadap cara dakwah Muhammadiyah? Terlepas dari semua itu, hal ini mesti ditanggapi secara serius. Pasalnya, bukan hanya kalangan warga non-Muhammadiyah saja yang beranggapan demikian, tetapi ada juga dari sebagian warga Muhammadiyah itu sendiri.

Anggapan miring tersebut sebenarnya terbantahkan apabila melihat fakta historis terkait hubungan Muhammadiyah dengan kebudayaan. Di mana Muhammadiyah pada masa awal berdirinya lebih bersikap akomodatif terhadap budaya lokal. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sosok pendiri Muhammadiyah itu sendiri, yakni, K.H Ahmad Dahlan yang merupakan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta. Sehingga, seperti yang dikatakan Hatta, karakter kejawaan Muhammadiyah tak akan pernah hilang.

Beberapa argumen yang mempertegas hal di atas, dapat ditelisik ketika perhelatan Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929. Saat itu, seruan untuk memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu aturan bagi peserta muktamar.

“Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak melanggar Sjara’. Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja.”

Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010

Selanjutnya, Muhammadiyah juga lah yang pertama kali memperkenalkan khutbah Jum’at dengan memakai bahasa yang dimengerti oleh masyarakat. Bahkan, menurut kesaksian salah seorang murid Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda Purakawatja sebagaimana dikutip dari buku Muhammadiyah Jawa, pendiri Muhammadiyah itu pernah mengizinkan murid-muridnya untuk salat dengan menggunakan bahasa Jawa jika mereka tidak mengerti bahasa Arab. Terakhir, Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta. (Burhani 2010)

Masa Kontemporer

Dalam konteks kekinian, peran Muhammadiyah dalam merespons budaya mungkin kurang dirasakan. Meskipun ada sebuah lembaga yang mengatur terkait persoalan budaya tersebut, yakni Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO). Keberadaan lembaga tersebut pun mungkin saja kurang menjamah kader-kader atau simpatisan Muhammadiyah yang berada di akar rumput. Sehingga, tak jarang anggapan-anggapan bahwa Muhammadiyah anti budaya masih ada bagi sebagian orang.

Namun, sebelumnya, pada sidang Tanwir di Bali tahun 2002 dan Makassar 2003, Muhammadiyah telah menyusun konsep Dakwah Kultural yang pada tahun 2004 telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menegaslan sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan

Selain itu, ornamen-ornamen atau nuansa kebudayaan juga banyak menghiasi perayaan Milad Muhammadiyah yang ke-108 pada 18 November 2020 yang lalu. Menurut almarhum Kuntowijoyo, Muhammadiyah merupakan pengusung kebudayaan baru yang pelan-pelan menggerus kebudayaan lama, sehingga ia kelihatan sebagai anti budaya (kalimahsawa, 23/1/2020). Oleh karena itu, anggapan Muhammadiyah anti budaya itu hanyalah kesan belaka dan bisa dikatakan salah alamat.

Ilustrasi: moderasi Islam