Akhir bulan Oktober, saya dan salah seorang teman saya mendapatkan kesempatan emas untuk bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Turki, yakni Pak Lalu Muhammad Iqbal Ph.D dikediamannya di Wisma Indonesia. Jarak antara asrama tempat kami tinggal dan wisma cukup jauh, menggunakan kereta bawah tanah (Metro) dan dilanjutkan menggunakan bis. Pemberhentian bis tidak langsung di depan wisma, melainkan di depan salah satu mall besar di Ankara (Panora Mall), dari sana jalan kaki sekitar sepuluh menit. Lumayan berat jalan kami karena kondisi jalan di Ankara yang memang banyak tanjakan dan turunannya, hampir seperti Malang atau Bukittinggi kalau di Indonesia. Ada kejadian unik sebelum sampai di wisma, tercium samar-samar bau ikan asin. Sempat membatin bingung, masa ada ikan asin di Turki, tapi nyatanya tercium jelas baunya.
Akhirnya kami sampai di wisma. Kesan pertama yang muncul adalah seperti merasa di Indonesia, ada tiang dengan bendera merah putih berkibar. Kami juga disambut petugas keamanan, Mas Ibnu namanya. Kehadirannya menambah kesan Indonesia banget, selintas ingat keramahan satpam bank BCA. Di pos satpam itu kami diminta passport dan sebagai gantinya kami diberi tanda pengenal dengan tercantum angka, saya dapat angka 01 dan teman saya 51.
Beberapa menit kami menunggu di pos satpam, hingga kami dijemput oleh Mbak Tatu, asisten Pak Dubes. Senyum-sapa-supel diterapkan semua oleh Mbak Tatu ketika bertemu dengan kita. Perlakuan manusiawi yang Mbak Tatu lakukan semakin mengingatkan kepada Indonesia. Bukan bermaksud berlebihan, sebab selama saya di Turki perlakuan petugas di kantor, di kampus, di market sekalipun jauh dari kata ramah.
Kami diantarkan Mbak Tatu ketemu Pak Dubes di ruang ASEAN, banyak benda yang menggambarkan kekayaan Indonesia disana, seperti lukisan penari Bali dan juga kain tenun. Di saat saya sibuk memperhatikan tiap sudut ruangan, datanglah Pak Iqbal menghampiri kami. Beliau menyampaikan maaf karena agak telat dari janji yang dijadwalkan. Sebenarnya beliau membolehkan kami silaturahim saja sudah sangat senang, di sela-sela jadwal beliau yang sangat padat. Tapi tetap saja hal kecil itu, kata “maaf” mencerminkan siapa Pak Iqbal.
Banyak hal yang disampaikan oleh beliau, mulai dari perjalanan karir beliau, hasil penelitian beliau ketika S2 (Universitas Indonesia) ataupun S3 (Universitas of Bucharest, di Rumania), potensi yang dimiliki warga Indonesia di Turki. Tapi yang melekat dan merasa dekat dengan cerita Pak Iqbal adalah saat masa-masa beliau S1 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Siapa sangka pak Dubes yang dikenal sekarang ini, dulu hanyalah mahasiswa yang serba pas-pasan. Bahkan untuk mencari kosan saja, cari yang paling murah, dan pada akhirnya memang dapat kos murah tapi apesnya tempat itu angker. Kamar mandinya juga berada di luar rumah, pun kalau malam hanya bercahayakan terangnya bulan, menambah kesan seram kosan itu. Tapi karena tidak punya uang yang lebih, semua dijalani dengan ikhlas.
Di depan kos Pak Iqbal itu sering kali dilewati penjual makanan keliling, salah satunya adalah penjual sate. Suatu waktu perut Pak Iqbal merasa lapar, bersamaan juga penjual sate lewat, dipanggillah tukang sate itu. Karena uangnya tidak cukup untuk satu porsi lengkap, maka Pak Iqbal hanya pesan lontong dan kuah kacang. Bagi anak kos, lontong dengan kuah kacang sudah sangat cukup untuk menenangkan cacing di perut.
Hari-hari berikutnya Pak Iqbal beberapa kali selalu beli lontong dengan kuah kacang. Sampai satu hari penjual sate itu merangkul pak Iqbal dan nyeletuk “Mas, saya ini gak jual lontong, saya ini jual sate”. Penjual sate sepertinya mulai hafal kelakuan anak muda ini kalau beli selalu hanya lontong dan juga kuah kacang. Tapi mau bagaimana lagi, uang cukup hanya untuk satu piring lontong dengan kuah kacang.
Di kos itu Pak Iqbal kurang lebih tinggal satu tahun. Setelah lulus S1 Pak Iqbal memutuskan pindah ke Jakarta untuk bekerja. Beberapa tahun bekerja, ekonomi mulai membaik. Satu kesempatan Pak Iqbal kembali ke Jogja, dan menyempatkan mampir ke kos yang lama, menemui teman-teman yang belum lulus. Saat itu berbarengan juga penjual sate yang sedang keliling. Karena sudah berpenghasilan, Pak Iqbal pun berniat mentraktir teman-temannya. Malam itu Pak Iqbal dan teman-temannya pesta sate.
Setelah selesai, Pak Iqbal kemudian membayar tukang sate itu, tapi dengan sengaja melebihkan uang dari yang seharusnya. Tukang sate itu merasa sangat senang, pertama sudah diborong satenya, kedua diberi bayaran lebih. Karena perasaan gembira itu, tukang sate merangkul Pak Iqbal dan bilang “Semoga rezeki kamu diperlancar ya.” Sebenarnya awalnya Pak Iqbal tidak ingat dengan sosok tukang sate itu, tetapi karena rangkulannya yang sama persis ketika dahulu masih menjadi mahasiswa, akhirnya ingat kembali.
Masih banyak kisah-kisah menarik yang diceritakan oleh Pak Dubes ke kami. Tapi terhenti karena beliau harus menemui tamunya yang baru datang. Kami pun diarahkan untuk makan di dapur. Dan di dapur ini akhirnya terjawab dari mana bau ikan asin yang saya cium tadi.
Satu hari yang menyenangkan dan penuh inspirasi dengan Pak Iqbal. Dari perjalanan hidup beliau, kita anak-anak muda bisa belajar banyak hal. Belajar tentang pantang menyerah, belajar tentang semangat menuntut ilmu, belajar agar senantiasa berdoa dan berusaha.
Editor : Ciqa
Gambar : Dokumentasi Pribadi Penulis
Comments