Pikiran kita pada dasarnya lebih menyakiti dan menggerogoti diri sendiri daripada kenyataan sekitar yang netral. Mungkin sekilas, tidak percaya bahwa hal yang menyakiti diri sendiri adalah rasio yang kita miliki. Entah disadari atau tidak, asumsi-asumsi negatif yang kita buat sendiri akan berubah menjadi mindset, sehingga itulah yang akan terjadi. Ini masalah yang sering dialami tidak hanya bagi kaula muda. Bahkan, mereka yang sudah ternobatkan menjadi kaula tua pun yang seharusnya sudah matang dalam berpikir secara bijaksana, namun tetap juga mengalami apa yang disebut dengan overthinking.
Dewasa ini kita tidak asing dengan istilah overthinking, kondisi di mana kita terlalu memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Masih mendingjika yang dipikirkan itu hal positif, namun sangat disayangkan kebanyakan overthinking selalu bersanding dengan pemikiran negatif.
Sangat tidak enak menjadi manusia yang hanya memikirkan hal-hal tidak penting. Mulai dari balasan singkat kawan atau pesan WhatsApps yang hanya ter-read, sehingga menimbulkan pikiran “Apakah ada yang salah denganku?”
Selain itu, kebanyakan mikir untuk memulai sesuatu justru akan menunda hal-hal yang seharusnya bisa dilakukan sekarang. Lebih-lebih, memikirkan pendapat dan pandangan orang lain terhadap kita yang tidak akan ada habis-habisnya, malahan hal tersebut akan membatasi diri kita, sehingga tidak bebas.
Perkara di atas inilah yang membuat hal sepele terlihat seperti seekor dinosaurus yang siap kapan saja menerkam. Pemikiran negatif juga akan menyebabkan orang menjadi stres. Dalam buku Filosofi Teras, disebutkan bahwa “Pada dasarnya bukan stresnya yang membunuh kita, tapi reaksi kita menghadapinya.”
Saat kita stres dalam jangka waktu yang panjang, maka akan memicu tubuh untuk mengeluarkan hormon stres bernama kortisol. Kortisol merupakan zat oksidatif, merusak apapun yang dilewatinya.
Overthinking, Bukankah Lebih Antisipatif?
Ciri-ciri orang yang overthinking dapat dilihat dari cara dia sebelum memulai sesuatu. Misalnya, memikirkan “Bagaimana nantinya? Setelah ini akan melakukan apa? Bagaimana kalau tidak sesuai ekspektasi, dan pikiran jelek lainnya.
Analoginya, saat kita sedang mengadakan pesta di rumah dan mengundang semua kerabat tanpa terkecuali. Sebelum acara dimulai, kita memikirkan nanti bagaimana jika tamu tidak ada yang datang, atau tamu yang kita undang kebanyakan. Takutnya nanti pesta akan sepi atau jika datang terlalu banyak nanti snack kurang.
Nah, ini yang dikatakan overthinking, yakni memikirkan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Lantas, solusinya seperti apa? Yaa, untuk memastikan kehadiran tamu bisa kita lakukan konfirmasi terlebih dahulu sebelum menghadiri pesta. Menyiapkan segala sesuatu secara matang juga bisa mengurangi rasa overthinking.
Awalnya saya salah mengartikan dan menganggap wajar bahwa, overthinking itu merupakan tindakan antisipasi. Memastikan kemungkinan terburuk saat terjadi sesuatu. Namun, justru anggapan seperti itu keliru, karena area overthinking itu bukan zona di mana kita bisa kendalikan. Saat udah mentok, kita tidak bisa melakukan apapun setelah semua upaya antisipasi sudah dicanangkan, ya sudah loss tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau tetap memaksakannya, maka kita akam terpaku di sana.
Jangan Memikirkan Hal-hal Sepele
Orang yang memusingkan hal-hal kecil nan sepele, ia tidak akan bisa mensyukuri hal terindah dalam hidup. Diskusi pagi dengan kerabat saya yang kesimpulannya bahwa, apresiasi orang lain ke kita itu lebih berpengaruh daripada kita menyemangati diri sendiri. Awalnya saya mengiyakannya, karena seperti yang saya rasakan kala itu.
Namun berkaca pada kehidupan realita, kita tidak bisa sepenuhnya mengharapkan apresiasi orang lain terhadap kita. Terkadang hanya sekedar tepuk tangan seusai teman presentasi di depan kelas saja, malas kita lakukan jika tidak benar-benar uwuw. Mungkin ini penyebab overthinking di mana kita ingin terlihat sempurna. Mengandalkan motivasi, apresiasi, atau apapun dari orang lain sehingga membuat kita menjadi pribadi yang lemah.
Jika ada yang memotivasi, kita menjadi semangat, namun jika tidak ada yang menyemangati lalu kita menjadi loyo dan begitu seterusnya.
Di samping semua itu, yang paling kita butuhkan untuk survive saat ini, bahkan sampai kapanpun ialah mencoba untuk mencari motivasi terbesar dari dalam diri sendiri. Semoga motivasi terbesar kita hanya mengharap sama, yaitu ridho-Nya. Sehingga, kita berbuat semata-mata hanya untuk-Nya dan sebagai wujud bakti dan taat terhadap-Nya.
Dengan menjadikan Allah sebagai tujuan dan tempat kita bergantung sepenuhnya, kita akan kembali kepada titik, bahwa apapun yang ditakdirkan Allah untuk hamba-Nya, itulah yang terbaik. Barang tentu, hal tersebut berdasarkan syarat yang berlaku, yaitu kita usahakan semampu kita dulu. Setelah itu, kita diajarkan untuk tawakal menyerahkan segala sesuatunya pada Allah semata.
Comments