Isu rasisme kembali merebak akhir-akhir ini. Diawali dengan tewasnya George Floyd (46 tahun), warga kulit hitam Amerika. Setelah ditahan, ia dianiaya oleh oknum kepolisian Minnesota hingga akhirnya meninggal dunia pada malam 25 Mei. Tewasnya George Floyd menambah catatan kelam kasus rasisme yang berkembang di Amerika Serikat.
Tak hanya warga Amerika yang dibuat geram atas kasus tersebut, masyarakat dunia pun mengecam aksi rasisme yang kerap terjadi di negeri Paman Sam.
Rasisme: Virus mematikan
Jika diperhatikan, kasus rasisme tidak hanya menjadi momok besar bagi negeri Paman Sam, lebih jauh, permasalahan ini telah menjalar di seluruh dunia. Ibarat virus yang mematikan, rasisme telah menginfeksi sendi-sendi masyarakat dunia.
Sebagai contoh, Indonesia. Negara dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ ini juga tak luput dari sejarah kelam perundungan rasial. Terbaru, kasus penganiayaan mahasiswa Papua di Surabaya pada pertengahan tahun lalu, menjadi salah satu gerbang pembuka kasus rasisme di tanah Ibu Pertiwi.
Hal ini jelas membuka mata kita, bahwasanya rasisme tidak tumbuh hanya di Kawasan tertentu. Ia berdiaspora dan menjadi parasit super besar di setiap inang-inang peradaban.
Manusia modern. Ialah masyarakat yang tumbuh dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat yang berkembang sejalur dengan perkembangan teknologi. Namun, perkembangan teknologi yang pesat ternyata tidak juga mengubah pola pikir oknum-oknum umat manusia.
Mereka yang tumbuh dalam ketamakan dan watak superior, akan terus hidup diatas ketamakan dan ke-superioritas-annya. Mereka yang tak pernah meng-upgrade peradabannya akan tetap terjebak di dalam peradaban pra-sejarah. Ya, mereka yang lebih mendewakan hawa nafsu ketimbang rasionalitas pemikiran.
Padahal, setiap manusia yang lahir di dunia tidak diberikan pilihan untuk dilahirkan oleh orang tua dari ras apa, tingkat ekonomi seperti apa dan pilihan-pilihan manusiawi lainnya. Kita semua terlahir dengan takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Tidak ada yang mendominasi satu sama lain.
Batasan-batasan yang hadir di kehidupan ini ialah realisasi dari luasnya imajinasi manusia. Manusia saling berkompetisi. Saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka yang menang akan menguasai yang kalah. Membentuk batasan-batasan baru, yang kemudian diwarisi untuk generasi selanjutnya, dan pada akhirnya muncul-lah stigma baru.
Lantas, masih kah kita berbangga dengan derajat sosial yang terpatri pada diri kita? Status yang seharusnya menjadikan kita contoh dihadapan orang lain. Akhirnya menjadi tembok besar penghalang kemajuan peradaban umat manusia.
Penulis: Muhammad Rifqi Asyraf
Comments