Kesalahan pemahaman yang sering terjadi di Indonesia adalah kurang bisa membedakan antara sekolah dan belajar. Sekolah, hanyalah sebuah lembaga atau bangunan “tempat” belajar-mengajar yang disepakati antara pendidik maupun peserta didik.
Sementara itu, belajar adalah “proses”, prilaku atau usaha seseorang dalam menemukan suatu wawasan pengetahuan. Dalam kalimat lain, kita sekolah belum tentu belajar sebab terkadang sekolah hanya sekadar tuntutan sosial saja, sementara belajar tak harus di sekolah, di mana pun kita berada kewajiban belajar akan selalu ada.
Mirisnya, sistem pendidikan di negara ini menjadikan kita sebagai manusia yang diseragamkan, disamakan, dan distandarisasikan dalam nilai yang parsial. Sadari saja bahwa sistem pembelajaran cenderung menuntut kita untuk menghafal atau mempelajari sesuatu yang sama di setiap materinya.
Mungkin bisa saja pendidikan di negara ini kita katakan diktatorial (mendikte atau mengeja kebenaran). Kita tak pernah belajar lebih atau keluar dari materi atau kurikulum. Seakan hal-hal tersebut merupakan acuan pasti dari pembelajaran tanpa mengenalkan sistem kreatifitas dan rasa keingintahuan dari peserta didik.
Kita sadar tentang itu, namun kita tak pernah berubah dari keadaan itu. Siapa yang salah? Pemerintah yang tak kunjung bergerak di bidang itu? Atau kita yang terlalu malas untuk melakukan perubahan individual?
“Everybody is genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its iwhole life believing that it is stupid.”Albert Einsten
Seorang ilmuan Albert Einstein pernah mengatakan bahwa, “Semua orang itu cerdas/pintar/jenius, tapi jika kita menilai seekor ikan dari caranya memenjat pohon, maka selamanya ia akan menganggap bahwa dirinya itu bodoh.” Ia menganalogikan bahwa ikan tak pernah bisa dinilai dari caranya memanjat pohon, begitu pula monyet ketika disuruh berenang di air. Penilaian terhadap sesuatu tidak bisa distandarisasikan dalam satu sistem ideal yang harus ditelan secara global, itu tak adil. Sebab manusia memiliki kemampuan masing-masing.
Sekolah Bukan Soal Ijazah
Sekolah berkata lain, terdapat ujian dan tes yang memiliki nilai minimal atau remedial yang menjadi acuan setiap siswa. Kalau dianalogikan, ada bermacam-macam hewan di lapangan, seperti gajah, jerapah, ikan, burung. dan monyet. Akan tetapi, sistem yang ada justru memberikan ujian dengan standar memanjat pohon, lucu bukan?
Pendidikan bukan sekadar urusan mendapat ijazah dan sekolah formal selama 12 tahun dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), lalu lulus menjadi manusia pekerja yang multitalent saja. Karena pendidikan memiliki tujuan mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, baik itu mental, fisik atau spiritual untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Caranya bagaimana? Memanusiakan manusia salah satunya. Dengan mengoptimalisasikan manusia dalam kecenderungan atau bakat yang dimilikinya, mendidik kemampuan jiwa maupun rohani sehingga dapat menjadi manusia yang logis-analitis dalam menuju kesejahteraannya.
Saran saya, jangan terlalu serius dalam sekolah, namun seriuslah dalam belajar. Pandemi Covid-19 dan keadaan yang menuntut kita melakukan sistem belajar online telah banya memberikan pelajaran kepada kita bahwa sekolah dan belajar itu sangat berbeda. Kita tak menunggu sekolah buka, guru memberi materi atau tugas saja, bukan? Kita bisa belajar tanpa disuruh, bukan? Di mana pun dan kapan pun. Asal kita tetap belajar, sekolah libur pun tak masalah.
Editor: Nirwansyah
Gambar: Pintek
Comments