Sebegitu sulitnyakah korban sexual harassment mendapat perlindungan dan payung hukum yang jelas? Pertanyaan tersebut terlintas saat saya membaca sebuah berita di twitter waktu lalu. Semakin hari, semakin banyak terjadi Sexual harassment baik kepada atau oleh laki-laki maupun perempuan.
Tidak usah jauh-jauh sampai kepada kasus Reynhard Sinaga. Di sekitar kita pun banyak sekali terjadi, baik disadari oleh pelaku atau korban maupun tidak disadari.
Sexual Harassment atau pelecehan seksual banyak dianggap hanya dalam bentuk pemerkosaan, memegang atau menyentuh secara fisik, pencabulan dan hal intim lainnya yang dilakukan secara fisik. Padahal pelecehan seksual punya banyak sekali bentuknya, mulai dari catcalling seperti bersiul, sampai memperlihatkan alat kelamin ataupun menunjukkan isyarat-isyarat saru lainnya.
Berdasarkan data dari komnas perempuan selama 12 tahun terakhir, kasus pelecehan seksual di Indonesia meningkat sebanyak 792% atau bisa dikatakan 8 kali lipat. Sebagian besar korban dari pelecehan seksual adalah perempuan. Meski tidak dipungkiri bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual, data tersebut menunjukkan bahwa kehidupan perempuan di Indonesia masih belum aman. Apabila setiap tahun terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan, maka hal ini dapat menjadi budaya yang lumrah dalam masyarakat kita.
Selain korban pelecehan seksual tidak mendapatkan payung hukum yang jelas serta keadilan, korban pelecehan seksual kerap dituding melakukan pemfitnahan terhadap pelaku. Terlebih bagi mereka yang menjalin hubungan asmara.
Dalam pandangan sempit saya, kasus pelecehan seksual tidak hanya terjadi di ruang-ruang terbuka seperti pinggir jalan raya, pasar, ataupun tempat terbuka yang rawan dengan kejahatan. Tetapi kasus pelecehan seksual juga kerap terjadi di ruang-ruang tertutup seperti dalam rumah, kos-kosan, kontrakan, rumah ibadah, wc umum, dan lain sebagainya.
Pelaku dan korbannya pun sangat bermacam-macam. Bukan hanya manusia-manusia urakan tidak dikenal saja yang kerap menjadi pelaku pelecehan seksual. Namun, bisa jadi suami, pacar, bapak kandung, kakak kandung, anak, bahkan aktivis-aktivis pergerakan pun kerap melakukan pelecehan seksual. Artinya, semua orang berpotensi melakukan pelecehan seksual. Oleh karena itu, kita harus waspada dan menjaga jarak aman dari predator-predator seksual, bahkan yang berkedok aktivis dan orang-orang terdekat.
Tapi masa iya sih, sexual harassment terjadi di dalam keluarga atau di dalam ikatan hubungan pacaran?
Nggak mungkin banget kayaknya yah? Bukannya mereka saling mencintai? Berarti kalau melakukan hubungan seksual bukan karena dilecehkan tetapi itu memang ingin dan ada konsensus dua orang dong ya?
Lho, jangan salah. Di dalam hubungan apapun, yang namanya kejahatan seksual pasti bisa terjadi. Dalam hubungan pacaran misalnya. Kenapa terjadi, padahal saling mencintai? Ini, bukan sama sekali masalah cinta dan nggak cinta. Sekali lagi bukan. Namun pelecehan seksual bisa terjadi karena beberapa dorongan. Pertama, adanya kesempatan, latar belakang pelaku, adanya rasa memiliki dan menguasai terhadap hak atas tubuh korban.
Dan walaupun dalam bingkai percintaan kenapa tetap disebut sebagai pelecehan seksual? Karena adanya rasa tidak terima dari korban, rasa tidak nyaman, adanya pemaksaan baik secara verbal ataupun tertulis hingga adanya kekerasan terhadap fisik korban. Misalnya, walaupun pacaran karena tidak mau melakukan hubungan seksual, lalu pelaku mengancam akan membunuh, atau memukul, memaksa dan sebagainya. Tentu ini disebut sebagai pelecehan seksual, walaupun katanya dibalut dengan nuansa percintaan.
Banyak kasus yang disiarkan di televisi-televisi, bahwa kasus pelecehan seksual yang berujung kekerasan terhadap perempuan, terjadi di dalam rumah tangga, hubungan asmara, hubungan keluarga, dan hubungan-hubungan dekat lainnya. Sebenarnya apa sih yang salah sehingga pelecehan seksual menimbulkan benang ruwet yang susah diurai? Terbatasnya akses pendidikan dan sosialisasi terkait seks edukasi, membuat pembicaraan-pembicaraan seputar seksual menjadi hal yang tabu. Hal tersebut terus diamini oleh masyarakat kita, sehingga seakan pembicaraan seks adalah pembicaraan yang kotor dan tidak patut kita ketahui.
Padahal seiring dengan berjalannya waktu, seorang anak akan mengalami proses-proses perubahan yang begitu signifikan. Mulai dari perubahan emosi hingga pada perubahan fisik. Tidak memungkiri apabila banyak remaja laki-laki atau perempuan yang mulai penasaran dengan porn. Sesungguhnya rasa ingin tahu adalah hal yang lumrah dan tidak bisa dicegah. Karena itu, penting adanya keterbukaan antara orangtua dan anak terkait bahaya dan fungsi porn tersebut.
Kok bisa ya, korban pelecehan seksual kebanyakan perempuan?
Saya teringat beberapa waktu lalu, saat membaca status di facebook, ada kalimat kurang lebih begini. Sebenarnya laki-laki tidak bisa berkomitmen tanpa cinta, namun perempuan sangat bisa berkomitmen tanpa cinta. Tetapi laki-laki sangat bisa berhubungan seksual tanpa cinta, pun sebaliknya perempuan tidak bisa berhubungan seksual tanpa adanya cinta. Karena itulah, kasus pelecehan seksual itu kebanyakan korbannya perempuan, setidaknya menurut saya. Karena laki-laki sangat bisa berhubungan seksual tanpa cinta. Apalagi kalau aktivitas seksual sudah menjadi habitusi bagi dirinya. Tentu, satu perempuan pergi akan langsung mencari mangsa yang lainnya.
Tidak jarang korban seksual juga kerap merasakan traumatik akibat pelecehan seksual. Mulai dari takut melihat benda-benda yang pernah dipakai untuk memukul, sampai jadi pendiam dan tidak takut kepada laki-laki. Banyak perempuan depresi akibat pelecehan seksual karena trauma yang luar biasa. Korban merasakan penyesalan yang tidak dapat diungkapkan sekaligus merasa benci terhadap diri sendiri dan merasa tidak ada lagi harapan baginya. Tidak sedikit hal demikian mengganggu masa depan perempuan. Masa depan berkeluarga, karir dan juga sosialnya.
Namun, walau bagaimanapun, perempuan harus bangkit. Perempuan harus terbiasa membawa beban-beban traumatik mereka, sehingga beban yang dirasakan menjadi ringan. Pun perempuan harus bisa melanjutkan mimpi-mimpi yang mereka cita-citakan atau terus berfikir ke depan. Korban perempuan harus bisa berfikir terbuka dan memaafkan kesalahan diri.
Ada beberapa tips untuk sedikit move on atau mengalihkan beban-beban traumatik sehingga tetap bisa menyongsong masa depan. Pertama, hilangkanlah jejak-jejak masa lalu yang terdokumentasikan di dalam ponsel ataupun notebook anda. Selanjutnya hapus kontak-kontak yang berhubungan dengannya. Perbanyak beristighfar. Tunjukkan bahwa dirimu bisa lebih baik dari dirimu yang dulu. Buat capaian-capaian kecil hingga besar di dalam kertas. Lakukan sesuai apa yang dituliskan. Sabar, syukur dan terus berdo’a. Jangan lupa dijaga keistiqomahannya.
Comments