Belajar toleransi dari guyubnya warga Kampung Dunia Runtuh
Di balik kisah kehidupan yang riang gembira, keharmonisan maupun kebahagiaan warga Kampung Durian Runtuh dalam serial kartun “Upin dan Ipin”, ternyata itu semua hadir dari sikap toleransi mereka dalam keberagaman bermasyarakat.
Seperti yang diketahui para penonton serial kartun Upin dan Ipin, bahwa tipikal warga Kampung Durian Runtuh itu bercorak multikultural, terutama perihal keragaman agama. Mulai dari mereka yang beragama Islam seperti Upin, Ipin sekeluarga, Ehsan, Fizi, Mail, Tok Dalang dan lain-lain. Adapula mereka yang beragama Konghucu seperti Mei Mei dan Uncle Ah Tong. Bahkan ada juga dari mereka yang beragama Hindu seperti Devi dan Uncle Muthu.
Melalui keharmonian dalam keberagaman warga Kampung Durian Runtuh, marilah kita belajar bagaimana sikap mereka dalam toleransi di kehidupan bermasyarakat.
#Ikut merayakan hari raya agama lain
Warga Kampung Durian Runtuh itu sangat senang dan ikut berbahagia ketika merayakan hari raya setiap agama yang ada di Kampung tersebut. Ingat ya, “ikut merayakan” bukan ikut mempercayai kepercayaan agama lain. Saya hanya menegaskan diksi dan pemaknaan saja, pasalnya beberapa masyarakat sering memiliki persepsi bahwa ikut merayakan agama lain maka auto percaya dengan keyakinan agama tersebut.
Padahal kan tidak gitu konsepnya. Ikut merayakan itu belum tentu juga percaya dengan kepercayaan agama tertentu, tapi kalau sudah percaya maka sudah pasti ikut merayakan. Paham kan?
Ibarat dalam episode “Pesta Cahaya”, yang mana Upin, Ipin, Tok Dalang, Mei Mei, Uncle Ah Tong dan warga Kampung Durian Runtuh lainnya ketika ikut merayakan hari raya Deepavali dalam sebuah pesta cahaya yang diadakan oleh Uncle Muthu.
Nah, apakah ketika Upin, Ipin maupun mereka yang beragama non Hindu ini, yang ikut perayaan tersebut lantas akan auto percaya dengan keyakinan Uncle Muthu? Kan tidak. Mereka kan Cuma ikut merayakan hari raya agama lain saja, sebagai bentuk toleransi mereka dalam keberagaman bermasyarakat.
#Tidak pernah mendiskriminasi agama lain
Dalam kehidupan warga Kampung Durian Runtuh, tidak pernah ditemukan ada yang mendiskriminasi agama tertentu, bahkan agama minoritas sekalipun. Mereka hidup selayaknya bermasyarakat tanpa ada sikap diskriminatif.
Dapat dilihat sendiri ketika anak-anak Kampung Durian Runtuh sedang bermain, tidak pernah ditemukan semisal seperti Mei Mei selaku penganut agama minoritas diperlakukan diskriminatif oleh teman-temannya. Bahkan serusak-rusaknya cangkem Fizi, tapi ia tidak pernah menyinggung bahkan mendiskriminasi agama tertentu.
Tidak hanya itu, bahkan tiga sejoli yang masing-masing beda agama yakni Tok Dalang, Uncle Muthu, Uncle Ah Tong, itu saja tidak pernah menyinggung unsur-unsur yang bersifat diskriminatif. Bahkan mereka menjadi sahabat sejati tiga sejoli.
#Tidak protes dengan ibadah agama lain
Sepanjang sejarah peradaban Kampung Durian Runtuh, tidak ada penduduknya yang protes dengan ibadah agama lain, misal protes adzan. Tidak pernah tuh, ditemukan Uncle Ah Tong, Uncle Mutho ataupun lainnya yang protes ke Masjid gara-gara suara adzan yang dianggap mengganggu mereka yang non Islam.
Begitupun sebaliknya, dalam episode “Bulan Hantu”, Upin dan Ipin pun tidak protes ketika mengetahui keluarga Mei Mei berdoa dengan menaruh jeruk dan dupa di depan rumahnya atau di pinggir jalan ketika bulan hantu menurut kepercayaan orang China.
Tidak hanya itu, bahkan ketika ada Opera China yang diadakan oleh masyarakat Konghucu, justru seluruh warga Kampung Durian Runtuh ikut berpartisipasi meramaikannya. Termasuk Mail yang juga ikut berjualan di Opera China tersebut.
#Tidak pernah ada kampanye toleransi oleh kelompok atau otoritas tertentu
Entah kenapa, di Kampung Durian Runtuh itu tidak ada elemen masyarakat, kelompok sosial maupun ormas-ormas rusuh yang kerjaannya gembar gembor toleransi. Bahkan Tok Dalang selaku ketua penghulu Kampung Durian Runtuh saja tidak pernah berkampanye perihal toleransi. Namun, yang mengherankannya lagi yakni di tengah tidak adanya pihak yang berkampanye toleransi, tapi justru masyarakatnya menerapkan sikap toleran. Kok bisa, ya?
Padahal dalam konteks masyarakat lain, entah itu di negeri yang lain, mereka yang berkampanye toleransi malah memusuhi sesama pemeluk agamanya, hanya karena berbeda pemahaman. Dalam masyarakat di negeri lain, di tengah banyaknya kampanye toleransi, tapi justru realita bermasyarakatnya sangat intoleran.
#Pendidikan toleransi bersumber dari lingkungan keluarga
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya bahwa nilai toleransi di Kampung Durian Runtuh itu tidak bersumber dari ormas, kelompok maupun otoritas setempat. Melainkan bersumber dari lingkungan keluarga masyarakat Kampung Durian Runtuh.
Oke, saya mengacu pada episode yang sama di pembahasan di atas, yakni episode “Bulan Hantu”. Saat itu, pasca Upin Ipin mendapatkan penjelasan singkat mengenai bulan hantu dari Mei Mei, akhirnya Upin Ipin meminta penjelasan lebih lanjut kepada Opah.
Singkat cerita setelah Opah memberi penjelasan, saat itu juga Kak Ros menyambung penjelasan Opah. “Itu kepercayaan orang China lah, kite perlu hormat. Ko rang jangan pandai-pandai nak ambil buah-buahan yang ada dekat tempat semayam di tepi jalan tuh” kurang lebih begitulah tegas Kak Ros menasehati adik-adiknya.
Nah, dari ungkapan Kak Ros tersebutlah kita dapat mengetahui bahwa pandidikan toleransi masyarakat Kampung Durian Runtuh bersumber dari lingkungan keluarga mereka masing-masing. Kalau menurut sosiolog kontemporer Peter L. Berger, bahwa sosialisasi primer pertama yang melekat pada identitas manusia itu bersumber dari keluarga.
Jika sikap toleransi yang dicontohkan masyarakat Kampung Durian Runtuh ini ditiru oleh setiap masyarakat yang bercorak multikultural, maka saya sangat yakin bahwa hidup dalam masyarakat tersebut akan terasa adem, ayem, tentrem, jauh dari kata rusuh karena perbedaan.
Editor : Hiz
Comments