Bila Oktober disebut Bulan Bahasa karena Sumpah Pemuda, maka November masyhur dengan hujan kata ‘pahlawan’ sebab pertempuran di Surabaya. Siapa yang tak tahu peristiwa 10 November tersebut? Hari dimana kota Surabaya digempur dari darat, laut, dan udara. Hari dimana Bung Tomo berpidato dengan penuh gelora, pekik takbir membahana, membakar semangat para pejuang demi mempertahankan kedaulatan negara. Hari yang menjadi salah satu momen paling bersejarah di Indonesia. Pertempuran habis-habisan, bertaruh nyawa kepada Inggris (Sekutu) yang digdaya.
Tapi, pernah nggak sih terpikir di kepala kalian tentang detail peristiwa yang terjadi saat pertempuran, termasuk ‘Behind the Scene’-nya? Ya, nyatanya perang tak melulu soal ketegangan―seperti yang ada dalam buku-buku sejarah pegangan siswa. Ternyata, kadang ada juga canda-tawa yang terselip di dalamnya. Percaya atau tidak memang itulah realitanya, termasuk dalam pertempuran Surabaya. Hario Kecik menulis, “Dalam keadaan berperang pun, kebiasaan bergurau dan berolok-olok arek-arek Suroboyo tetap saja hidup”. Nampaknya, hal tersebut memang sudah menjadi karakter arek-arek Suroboyo, sehingga mereka tak bisa lepas darinya.
Pertanyaannya sekarang, seperti apa sih guyonan-guyonan yang terjadi di pertempuran Surabaya? Rijal Mumazziq Z dalam buku “Surabaya: Kota Pahlawan Santri” menuliskan banyak sekali candaan yang terjadi dalam pertempuran Surabaya.
Bung Tomo dan Bocoran Soal Posisi Meriam
Contohnya seperti saat dimana Bung Tomo―karena saking semangatnya―tanpa sadar membocorkan posisi meriam. Melalui radio, Bung Tomo memerintahkan para pejuang yang mengoperasikan meriam di Wonokromo supaya menyerang musuh yang berada di Ujung dan Tanjung Perak. Hal ini lantas memancing respons berupa kritik dari para pejuang kepada Bung Tomo. Bagaimana tidak, posisi meriam yang mestinya dirahasiakan malah dibuka lebar-lebar tabirnya lewat siaran radio.
Masih ada lagi, kali ini protes ditujukan kepada para pejuang yang bertugas mengoperasikan meriam. Mereka dikritik sebab tembakan yang harusnya mengenai lawan yang ada di pelabuhan, justru meleset (terlewat) dan mengenai daerah pertahanan kawan di Bangkalan (Madura). Penyebabnya, ya, karena mereka memang belum pernah mendapat didikan sama sekali di akademi militer. Peristiwa ini mungkin belum pernah terpikirkan oleh kepala kita. Sebab, referensi sejarah kita (di sekolah) memang tidak menyinggung hal-hal semacam itu sama sekali.
Pantang Mundur Apalagi Menyamping
Guyonan-guyonan itu tak berhenti di situ saja. Kali ini datang dari kalangan pesantren. Guna mempertahankan kemerdekaan negara, banyak ulama (kiai) yang memfatwakan wajibnya jihad dan haram berbalik (mundur) meninggalkan medan tempur. Para pejuang mengangguk-anggukkan kepala pertanda mafhum. Hingga kemudian ada yang menyeletuk bertanya, “Jadi, kita harus MAJU berperang dan tak boleh MUNDUR, ya pak kiai?” “Iya”, jawab kiai singkat. “Kalau jalan MENYAMPING MIRING, boleh tidak, ya?” Kiai tersebut pun merespons, “Lha memangnya sampean ini manusia apa kepiting?”
Masih ada lagi, kali ini pasal penggunaan senjata lagi. Waktu itu, para pejuang berkumpul di depan penjara Koblen yang merupakan basis militer Sekutu. Karena tak dapat ditembus, mereka pun menghujaninya dengan granat. Namun, ada yang janggal. Hampir tak ada satu pun dari granat-granat yang mereka lempar, berhasil meledak. Selepas ditelusuri, ternyata mereka (para pejuang) tak ada yang tahu cara menggunakan granat. Mereka berpikir bahwa granat pasti meledak bila membentur sesuatu. Padahal, tuas pemicunya mesti ditarik dulu sebelum dilempar.
Itulah beberapa kejadian yang―menurut saya cukup―menghibur yang terjadi di medan tempur 10 November 1945. Bila teman-teman ingin mendapat yang lebih banyak lagi, teman-teman bisa membaca buku “Surabaya: Kota Pahlawan Santri” yang ditulis oleh Rijal Mumazziq Z. Ingat! Semesta ini sangat luas. Oleh karena itu, jangan menjadi orang yang hanya belajar di kelas. Jadi, mari perluas sudut pandang, tambah cakrawala pengetahuan. Selamat hari pahlawan!
Comments