Kuno dan kutu. Dua kata yang tidak asing. Kuno yang bersandar dengan kata tua, zaman dulu, dan tidak update. Kutu yang bersandar dengan kata binatang, jorok, menjijikan. Dua kata itulah yang seringkali digunakan untuk mendeskripsikan sedikit tentang masalah perbukuan.
Kata kuno lahir dalam stigma manusia-manusia per-buku-an. Sudah jelas banyak kegiatan yang kedengarannya lebih seru dan menantang ketimbang menghadap lembaran kertas penuh coretan.
Atau tidak begini saja, anggaplah manusia per-buku-an memang kuno. Akan tetapi toh, Eropa khususnya Prancis abad ke-17 yang kuno sekali sudah bergairah dengan tulisan-tulisan para filsuf atau program pemerataan pendidikan di prancis pada abad itu (Adi, Geotimes, 2019). Hasilnya? Hanya orang goblok yang tidak mau ke Prancis menikmati seni davinci atau sekedar berfoto di Sutet.
Kenapa harus ‘kutu buku’? Kenapa bukan yang lain saja? Kutu sebagai mahluk hidup memang tidak salah, yang salah adalah ketika menyamakan manusia-manusia per-buku-an dengan hal-hal yang kesannya jorok. Kenapa tidak kita ganti saja istilah itu dengan ‘Macan Buku’ saja biar kesannya soliter begitu?
Bagaimana Masa Depan Perbukuan?
Saya tidak mampu memprediksikan yang satu ini di era-distrupsi. Di saat Asia menjadi pengguna internet terbanyak 50.7% dibanding dengan eropa 16% dan benua lainnya di tahun 2019 (Internet Users Distribution).
Yang jelas, hadapi saja media-media yang bersandar kepada ilmu pengetahuan, media-media membahas permasalahan di masyarakat. Toh, manusia per-buku-an sudah terbiasa distigmakan. Anggap saja sudah kuat saat menghadapi era-digital.
Atau tinggal tunggu saja energi batu bara habis karna industri ekstraktif yang masif, dan gagap energi terbarukan yang ramah lingkungan, automatis listrik mahal dan langka (Film Sexy Killer, 2019). Hilang lah harapan-harapan literasi digital dan teman-temanya, kembali lah kita ke per-buku-an.
Anak Muda dan Per-Buku-an
Mari kita mulai dengan meninggalkan istilah kutu dan kuno saat mensejajarkan keduanya. Ganti dengan istilah classy dan macan buku.
Kemudian back to book, dan bacalah. Eh, tapi setelah membaca buku jangan sampai bilang “Tadi abis baca apa ya?”, nanti ditegur sama bung Hatta “Membaca tanpa merenungkan bagaikan makan tanpa dicerna” (Kutipan Perpustakaan Nasional).
Tapi tetap yang lebih ekstrim adalah ditegur dengan quotes dari Jorge Luis Borges “I have always imagined that Paradise will be some kind of Library”. Nggak mau nih nyicipin spoiler surga?
Penulis: Adi Fauzanto
Ilustrator: Ni’mal Maula
Comments