Saat ini, beberapa brand sudah meniadakan keberadaan sedotan plastik di gerai-gerainya, atau mengganti kebutuhan ini dengan sedotan kertas. Yang saya jumpai di daerah saya, sebut saja restoran ‘ayam-ayaman’ seperti Texas dan McD yang sudah menghilangkan ‘fasilitas’ ini. Atau kalau pas lagi jajan, saya beberapa kali membeli susu Frisian Flag Pure Farm, yang sudah mengganti sedotan plastiknya dengan sedotan kertas.

Sebelumnya, sedotan plastik bisa dianggap sebagai salah satu produk yang secara fungsional masih menjadi ketergantungan bagi sebagian orang. Sementara masalah sampah plastik, kita paham, sudah digadang-gadang selama puluhan tahun. Jujur saja, kadang kebutuhan akan plastik memang masih mengalahkan kesadaran kita untuk tidak ikutan menimbun volume sampah jenis ini.

Nggak heran, dari Femina.co.id saya baca, sedotan plastik termasuk dalam lima besar limbah berbahaya di dunia. Data dari Divers Clean Action, kelompok pemerhati lingkungan khususnya laut, bahkan menyatakan bahwa penggunaan sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93 juta batang. Konon, kalau dibentangkan bisa sepanjang 16.784 km, sama dengan jarak tempuh Jakarta ke Meksiko!

Syukurlah belakangan ini beberapa produsen mulai beralih ke sedotan kertas. Penggantian ini mudah-mudahan bisa jadi salah satu wake up call untuk para konsumen. Saya sendiri mengenal sedotan kertas, ya baru kali ini, ketika membeli beberapa produk mereka.

Tapi setelah mencoba beberapa kali, monmaap, saya masih belum bisa merasa nyaman menggunakannya. Bagi saya, penggunaan sedotan versi baru ini cukup menodai kenikmatan mengisap sumsum tulang kuah bakso cairan, terutama produk minuman kemasan.

Mungkin juga karena saya terbiasa “memainkan” sedotan dengan ujung mulut saat mengisap cairan, seperti menggigit-gigit ujungnya, atau mencoba memasukkan lubang sedotan ke salah satu gigi saya. Bhahaha…seperti kurang kerjaan ya? Tapi bagi saya, pekerjaan itu cukup mengasyikan, dan menjadi ritual ketika menyedot minuman.

Sebenarnya bisa saja sih saya melakukan kebiasaan itu dengan sedotan kertas. Tapi kalian kebayang nggak, betapa cepatnya keasyikan itu selesai. Lha namanya juga kertas. Cepat lembek kalau kena air, dan ambyar di mulut kalau kelamaan. Yang tersisa hanya sensasi ngemut kertas, dan kadang juga jadi tersugesti ‘seperti ada rasanya ya?’

Selain itu, semakin lama menggunakannya saya merasa sedotan ini semakin kehilangan job desc-nya sebagai ‘alat pengisap’. Sepertinya, saya harus segera menghabiskan minuman, karena bahan baku kertas yang cepat mengembang, sehingga menutup lubangnya. Efeknya, minuman tidak bisa disedot lagi karena mampet.

Pada produk susu kemasan yang saya beli, saya menjumpai sedotan kertas ini (yang ternyata masih dikemas dalam plastik, ehem!) mencantumkan beberapa catatan sebagai berikut, “Baru! Sedotan kertas, untuk kurangi plastik (lha ini bungkusnya bukannya dari plastik juga?). Jangan digigit/dikunyah/ditelan (‘materi’ kertas sangat mudah lunak bila terkena air, membuat sedotan ini mudah hancur di mulut. Pada akhirnya, akan ada kemungkinan bagian sedotan yang hancur tersebut tertelan). Konsumsi bagi anak di bawah 6 tahun wajib diawasi orang tua (susu adalah produk yang umumnya dikonsumsi oleh anak-anak, bagaimana mungkin diberikan sedotan yang dirasa ‘mengkhawatirkan’ bagi anak-anak?).”

Oh ya perlu saya sampaikan kalau pada dasarnya saya setuju sampah sedotan plastik dikurangi. Namun apakah menjadi solusi yang tepat? Dari segi kenyamanan konsumen, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, sangat tidak nyaman menggunakannya. Jadi kalau disuruh milih, saya lebih baik tidak pakai sedotan sekalian daripada harus pakai sedotan kertas.

Selain itu, kalau menilik dari ‘misi awal’ penggunaan sedotan kertas ini, tentunya terkait dengan kepedulian produsen terhadap isu sampah plastik kan? Tapi mengapa sedotan kertas ini dibungkus dalam kemasan plastik juga? Hal ini yang membuat saya bertanya-tanya. Bukankah tujuan utamanya adalah untuk mengurangi penggunaan plastik? Kalau tetap terbungkus kemasan plastik, kok kesannya jadi nggak kaffah gitu ya?

Namun lain kesempatan di sebuah restoran, saya pernah menjumpai sedotan kertas yang terbungkus dalam kemasan kertas juga. “Nah ini nih, baru sesuai dengan niat awalnya, mengurangi sampah plastik”, Saya mbatin. Tapi ketika saya membuka kemasannya, eh, sedotan di dalamnya ikutan robek. Yaaah, saya pun kuciwa…

Ya sudah, akhirnya saya tetap menggunakan sedotan kertas yang telah robek tersebut, untuk menyeruput es teh manis pesanan saya. Tapi ketika sedotan kertas saya semakin ‘berantakan’, sementara minuman saya belum habis, alhasil saya mengambil kembali untuk digunakan. Lah kok malah jadi pemborosan ya?

Jadi saya sekarang mencoba membiasakan diri untuk tidak menggunakan sedotan saja. Atau sekalian beli sedotan alumunium yang cuci-able itu. Mau minum susu kemasan? Lebih baik dituang dulu saja ke dalam gelas, baru diminum. Siapa tau, suatu saat para produsen akan mempertimbangkan untuk mendisain ulang produknya supaya konsumen bisa menikmati produk mereka langsung dari kemasan, tanpa perlu menyisipkan sedotan kertas. Mengurangi budget kemasan juga kan?

Produsen dan konsumen, sama-sama happy deh!

Editor: Nawa

Gambar: Femina